
SUHU bumi makin panas, kering-kerontang, sangat tidak ramah akibat menyatunya ketujuh benua, sementara lautan yang berfungsi sebagai pendingin juga berubah menjadi daratan hingga tubuh manusia tidak mampu lagi beradaptasi untuk bertaha hidup.
Studi mutakhir University of Bristol, Inggris, yang dimuat oleh Nature Geoscience dan seperti dikutip kompas.com (11/4) , memperkirakan, dalam 250 juta tahun ke depan kehidupan di bumi bisa menghadapi kepunahan besar-besaran, termasuk manusia dan sebagin besar mamalia.
Tampak seperti skenario film fiksi ilmiah? Ternyata tidak. Ini adalah prediksi ilmiah nyata dari masa depan Bumi—jauh di depan, namun penuh peringatan bagi hari ini.
Penyebabnya? Superkontinen baru atau menyatunya benua benua yang ada saat ini, dikenal sebagai Pangea Ultima, sementara matahari semakin panas, dan kadar karbon dioksida melambung tinggi.
Ketika benua bersatu, neraka dimulai dari bumi yang pernah memiliki superkontinen di masa lalu, seperti Pangea, sedangkan jutaan tahun ke depan, benua-benua yang ada saat ini bakal menyatu kembali menjadi daratan raksasa bernama Pangea Ultima.
Kedengarannya seperti kisah geologi biasa, namun dampaknya luar biasa. Bayangkan daratan luas tanpa lautan di sekelilingnya. Tanpa laut, tidak ada efek pendinginan alami. Fenomena ini disebut continentality effect, dan ini hanya satu dari tiga faktor “pemanas” yang dikhawatirkan para ilmuwan.
Pukulan tiga kali lipat
“Terbentuknya Superkontinen menciptakan pukulan tiga kali lipat—efek kontinentalitas, matahari yang lebih panas, dan kadar CO2 lebih tinggi—yang memperparah suhu di sebagian besar permukaan Bumi,” ungkap Dr. Alexander Farnsworth, penulis utama studi ini.
Suhu Pangea Ultima diprediksi sangat ekstrem: rata-rata antara 40 hingga 50°C, dan di beberapa tempat bahkan bisa mencapai 70°C.
Lebih buruk lagi, kelembapan yang tinggi akan membuat tubuh tak mampu mengeluarkan panas melalui keringat. Tanpa cara untuk mendinginkan diri, manusia dan banyak mamalia bisa mati karena heat stress fatal.
“Manusia—dan banyak spesies lain—tidak akan bisa bertahan karena tubuh tak lagi mampu membuang panas,” kata Dr. Farnsworth. Jangan harap bisa berteduh di tempat yang sejuk!
Studi ini memperkirakan hanya 8% hingga 16% dari daratan yang masih memiliki suhu yang dapat ditoleransi. Baca juga: Apa yang Akan Terjadi pada Bumi jika Manusia Punah?
Mamalia, termasuk manusia, memang pernah selamat dari perubahan iklim besar. Mereka beradaptasi: hibernasi, berbulu tebal, berpindah habitat. Namun panas seperti ini, yang konsisten, luas, dan berkepanjangan, tidak bisa dihindari atau ditoleransi.
“Berbeda dengan dingin, panas ekstrem sangat sulit untuk dihindari jika tidak ada tempat sejuk atau cukup air,” terang Dr. Farnsworth. Air menjadi langka, tanaman mati, dan rantai makanan pun runtuh.
Riwayat kepunahan bumi sebelumnya
Sebelumnya bumi memiliki riwayat panjang tentang kepunahan massal a.l : Ordovisium–Silur (443 juta tahun lalu): 85% kehidupan laut musnah.
Permian–Triassic (252 juta tahun lalu): kepunahan terbesar, 90% spesies laut dan 70% spesies darat punah. Cretaceous–Paleogene (66 juta tahun lalu): akhir era dinosaurus akibat hantaman asteroid.
Apa yang membuat kepunahan di masa depan ini unik? Ini bukan karena asteroid, melainkan kombinasi geologi dan iklim yang bergerak lambat, namun pasti.
Isyarat yang muncul hari Ini: Awal gelombangnya sudah terasa meski skenario ini baru terjadi ratusan juta tahun dari sekarang, dan para peneliti mengingatkan, kehidupn manusia sudah berada di jalur berbahaya.
Suhu global meningkat. Gelombang panas menjadi lebih sering dan mematikan. Air menjadi komoditas yang makin langka. “Hari ini kita sudah mengalami panas ekstrem yang membahayakan kesehatan,” tegas Dr. Eunice Lo, peneliti iklim dan kesehatan University of Bristol.
“Inilah mengapa kita harus segera mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions),” kata Dr Lo.
Apa Peran Karbon Dioksida? Dalam skenario superkontinen masa depan, aktivitas vulkanik akan melepaskan lebih banyak karbon dioksida. Kadar CO2 bisa naik dari 400 ppm saat ini menjadi lebih dari 600 ppm. Angka yang cukup untuk menciptakan efek rumah kaca besar-besaran.
“Jika manusia terus membakar bahan bakar fosil, bumi akan mencapai angka ini jauh lebih cepat dari yang kita kira,” kata Profesor Benjamin Mills dari University of Leeds.
Studi eksoplanet
Penelitian ini juga memiliki dampak luar biasa dalam studi eksoplanet. Planet yang berada di zona layak huni (habitable zone) belum tentu benar-benar layak huni jika daratannya menyatu dalam satu superkontinen.
“Ini menunjukkan bahwa planet di dalam zona layak huni belum tentu cocok bagi manusia, tergantung konfigurasinya,” jelas Dr. Farnsworth.
Saat ini superkontinen memang masih sangat jauh di masa depan. Namun studi ini bukan sekadar ramalan geologis, melainkan alarm keras bagi umat manusia.
Manusia tidak perlu menunggu 250 juta tahun untuk melihat dampaknya. Perubahan iklim sudah terjadi sekarang. Sumber daya tertekan, ekosistem terganggu, dan kesehatan manusia dalam ancaman.
Jika kita tidak bertindak cepat—mengurangi emisi, mengubah kebiasaan konsumsi, dan menjaga keseimbangan alam—masa depan itu bisa datang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.
“Kita sedang mengarungi awal dari cerita kepunahan. Tapi ceritanya masih bisa kita ubah—jika kita memilih untuk bertindak hari ini.”
Ayo singsingkan lengan baju, singkirkan perbedaan, himpun dan manfaatkan dana yang ada untuk melestarikan alam, bukan dihambur-hamburkan untuk menciptakan senjata dan membiayai perang yang hanya menimbulkan becana dan kematian. (Nature Geoscience/kompas.com/ns)