Predator seksual leluasa di RS, kok bisa?

Tersangka dr predator seksual di RSHS Bandung bernama PAP (31). Apa tanggung jawab pihak RS? Semua harus diusut (foto: Tribune)

WAJAH institusi dan profesi kesehatan di negeri ini coreng-moreng oleh kekerasan seksual yang dilakukan dokter peserta pendidikan dokter spesialis terhadap seorang perempuan keluarga pasien, di RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.

Tersangka pelaku berinisial PAP (31), diketahui merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)  FK Universitas Padjadjaran yang sedang menjalani program residensi (magang untuk menjadi dokter spesialis) di RSHS Bandung.

Kejadian ini pertama kali mencuat setelah akun Instagram @jabodetabek24info membagikan kronologi kejadian,  diduga terjadi di lantai 7 Gedung MCHC RSHS Bandung,  18 Maret 2025.

Korban, perempuan muda yang tengah menjaga ayahnya di ruang ICU, didatangi pelaku yang mengaku akan membantu pengambilan donor darah untuk menyelamatkan nyawa ayahnya.  Ia diminta naik ke lantai 7 RSHS sekitar lewat tengah malam (18/3).

Entah bagaimana tata kelola RSHS, tidak satu pun petugas keamanan, nakes (tenaga kesehatan), dokter jaga,  sehingga PAP leluasa melakukan aksi kejinya, bahkah diduga sudah beberapa kali sebelumnya.

Ruang TKP itu sendiri, menurut keterangan polisi, bukan diperuntukkan untuk crossmatch proses pengambilan darah, melainkan ruang layanan kesehatan ibu dan anak yang diduga digunakan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual pada dua pasien RSHS lainnya sejak Maret lalu.

Korban diminta PAP mengganti pakaian dengan baju pasien dan dipasangkan akses infus sehingga baru tersadar sekitar pukul 04.00 atau 05.00 pagi atau sekitar tiga jam sejak dibius. Lalu ditemukan berjalan sempoyongan di lorong lantai 7.

Bukan hanya merasa sakit di tangan bekas pemasangan selang infus, korban juga merasakan sakit di area kemaluan.

Tanpa merasa bersalah, tersangka meminta korban untuk mengenakan  pakaiannya kembali, lalu mengantar korban sampai lantai 1 Gedung MCHC.

Merasa ada yang tidak beres, korban kemudian menjalani visum ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi (SPOG) dan dari hasil pemeriksaan, terungkap adanya sperma di bagian kemaluan korban, dan di lokasi kejadian (lt 7) ditemukan ceceran sperma.

Tindakan keji

Pelaku, seorang dokter yang seharusny menjunjung tinggi kode etik kedokteran, berusaha dengan keahliannya untuk merawat dan menyelamatkan pasien, tetapi yang dilakukannya selain anomali, juga tindakan keji.

Residensi adalah program pendidikan lanjutan untuk profesi dokter di suatu RS untuk memberikan pengalaman klinis secara intensif dan terstruktur misalnya tterkait ilmu bedah, penyakit dalam atau pedatri.

Dokter yang mengikuti program ini seharusnya diawasi oleh mentor (dokter senior). Jadi aneh, jika pelaku leluasa melakukan pembiusan tanpa pengawasan atau pendampigan oleh nakes lain, menggunakan peralatan dan obat bius serta ruangan semaunya (bukan ruang untuk pembiusan).

Pasien yang sedang tergolek di RS dan keluarganya adalah pihak tidak berdaya dan awam terhadap tindakan medis sehingga begitu mudahnya diekspolitasi oleh dokter atau nakes yang memiliki relasi kuasa.

Tuntut juga pihak RS

Selain hukuman berat harus dikenakan terhadap pelaku, pihak RSHS  yang lalai dan abai sehingga pelaku leluasa dan bahkan diduga beberapa kali melakukan aksi kejinya juga harus dituntut.

Mulai dari pucuk pimpinan RSHS. Kebijakan apa yang diterapkan di RS yang dipimpinnya terkait pengawasan terhadap tindakan medis oleh para dokter da seluruh tenaga kesehatan (nakes) lainnya?

Bagaimana SOP kegiatan anastesi, juga yang dilakukan oleh dokter residen? Apakah dilakukan sendiri tanpa pengawasan oleh dokter senior atau bantuan tenaga kesehatan lainnya? Siapa dan bagaimana tanggungjawab penggunaan obat bius dan instrumen lain yang diperlukan untuk melakukan pembiusan? Dokter jaga dan  petugas keamanan ada di mana?

Perawatan di RS menyangkut nyawa manusia, untuk itu pengawasan berjenjang selayaknya harus dilakuan dengan seksama. mana tanggung jawab piak RS?

Tak hanya pelecehan atau kekerasan seksual, penyimpangan termasuk malapraktek di RS, menurut sejumlah dokter yang tikdak bersedia disebutkan namanya, sering terjadi bagaikan fenomena “gunung es”, karena pasien dan keluarganya awam, tidak paham persoalan medis.

Contoh paling sederhana, kelalaian nakes mengisi tabung oksigen, bisa berujung nyawa pasien melayang, tetapi jarang keluarga pasien yang protes, karena rata-rata mereka awam atau tidak memiliki akses untuk mengadu.

Sebanyak 63 pasien di RSUP Dr. Sardjito, Daerah Istimewa  Yogyakarta meninggal tengah pandemi Covid-19 pada 3 dan 4 Juli 2021 akibat kelangkaan oksigen saat itu.

Tidak ada penjelasan rinci dari pihak RS, kecuali pernyataan bahwa kejadian itu akibat “kelangkaan oksigen” secara nasional saat itu, padahal, bisa jadi kematian massal itu terjadi akibat kombinasi kelangkaan oksigen dan juga  kelalaian pihak RS.

Profesi di lingkup kesehatan, para nakes dan juga yang menangani tata kelola RS, sehausnya melakukan introspeksi agar berbagai potensi penyimpangan tidak terjadi, apalagi jika menyangkut nyawa manusia.

Organisasi seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (Perdatin), Persatuan Perawat Indonesia (PPNI), Perhimpunan RS sSeluruh Indonesia (PERSI)  dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)  harus mengambil hikmah kasus dokter PAP ini untuk terus berbenah diri.

Publik juga diminta agar lebih kritis mengamati layanan kesehatan, di RS, klinik atau lainya, baik yang rawat inap mau pun rawat jalan. (ns/berbagai sumber)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here