“Saya masih ingat suara bom itu,” kata Farah Baker mengawali ceritanya kepada wartawan Al Jazeera. Tak nampak raut trauma di wajahnya. Padahal ia telah tiga kali mengalami suasana perang di negaranya, Palestina. Namun, ia masih tetap ingin tinggal di Gaza.
Nama Farah cukup populer, terutama bagi netizen. Pasalnya wanita yang kini berusia 17 tahun itu pernah mengunggah suasana perang di Gaza musim panas tahun lalu melalui akun twitternya @Farah_Gazan. Ia menggambarkan bagaimana mencekamnya suasana ketika Israel menggempur Gaza. Postingannya itu kemudian menjadi viral.
“Saya kagum dengan respon positif terhadap tweets saya,” katanya. Setahun setelah itu, follower-nya melonjak drastis. “Dari 800 menjadi 200.000 dalam hitungan minggu,” ujarnya
“Saya menemukan bahwa orang-orang mulai mengikuti saya karena mereka juga ingin tahu yang sebenarnya.” Farah mengaku tidak ada motif politis di balik cuitnya di twitter.
“Saya hanya menulis tentang kehidupan saya selama perang.”
Menurut Farah, perang yang terjadi di mana pun, selalu saja warga sipil yang menjadi sasaran. Kehidupan semua warga selalu terancam maut. “Saya masih ingat … ledakan dan sirene ambulans meraung. Aku ingat semuanya,” lanjutnya.
Farah meyakini, banyak media Barat yang berpihak dengan Israel dan memberitakan secara “tidak adil” apa yang sebenarnya terjadi dalam perang yang menewaskan lebih dari 2.200 warga Palestina dan lebih dari setengah juta orang mengungsi.
Oleh karenanya, ia ingin menyuarakan cerita yang sesunggunya melalui media sosial yang ia miliki. Walaupun, asupan listrik yang tidak stabil di Gaza membuatnya sulit untuk menjalin komunikasi dengan dunia luar. Tapi Farah tak ciut. Ia terus berupaya mencari cara agar biasa bersuara.
Salah satu tweet yang paling berkesan menurutnya adalah ketika ia menulis: “Ini adalah daerah saya, saya tidak bisa berhenti menangis saya akan mati malam ini.”
Suaranya di dunia maya tentu saja tak luput dari perhatian Israel. Ia sempat diancam oleh pemilik akun twitter asal Israel. “(Mereka mengatakan) Kami akan menemukanmu dan mengebommu. Kamu harus menghentikan apa yang kamu lakukan,” tirunya.
Ancaman itu tak menyurutkan langkahnya. Bahkan, ayahnya yang seorang dokter bedah juga mendukungnya, meski risikonya sangat besar.
Saat ini, Farah baru saja menyelesaikan pendidikanya di sekolah Katolik yang berada di Jalur Gaza. Ia bercita-cita ingin menjadi pengacara. Ia berharap, peperangan segera berakhir, sehingga semua bisa hidup damai. / Al Jazeera