DEPOK – Dinginnya malam membuat sebagian warga Depok bergegas menuju rumahnya masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 23:00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Sudah terlalu larut untuk tetap beraktivitas. Saatnya beristirahat.
Namun, tidak semua orang memejamkan matanya. Ada sebagian warga yang kebagian shift malam untuk melayani proses pengiriman barang di sebuah kantor ekspedisi ternama di bilangan Jalan Margonda, Depok. Ada juga yang setia mengisikan bahan bakar ke tangki motor konsumen di SPBU milik perusahaan asing. Ya, Depok masih terjaga di malam-malam terakhir bulan Ramadhan 1436 Hijriah.
Tidak terlepas dari segala aktivitas malam di kota Depok, ada satu yang mampu menyedot perhatian orang yang lalu-lalang di Jalan Margonda. Mereka adalah “manusia-manusia gerobak” yang kerap menghamparkan alas tidurnya di pinggiran trotoar.
Keberadaan mereka di pinggir jalan tidak hanya sehari atau dua hari. Beristirahat sejenak di trotoar sudah menjadi rutinitas mereka setelah lelah melakukan pekerjaannya semenjak pagi. Kadangkala, waktu istirahat mereka gunakan untuk sekadar berbincang dengan istri sembari menjaga anaknya yang masih kecil.
Ilham adalah salah satu dari sekian banyak manusia gerobak yang kerap beristirahat di Jalan Margonda, Depok. Kesehariannya memulung gelas dan botol plastik bekas kemasan minuman. Dia sudah menjalaninya selama tujuh tahun.
“Awalnya saya bekerja sebagai pengamen jalanan, mas. Tapi saya memilih berhenti,” kata Ilham.
Obrolan pun kemudian terbang ke masa awal dia datang ke Depok. Ilham menceritakan bahwa dia sejatinya adalah seorang perantau dari Surabaya. Petualangan Ilham di Depok dimulai sejak Tahun 2005. Kedatangannya di kota megapolitan ini bukannya tanpa tujuan.
Bermodalkan tekad kuat dan pantang berpangku tangan kepada orang lain, Ilham pun memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman. Niatan dia hanya satu, yaitu ingin bisa menghidupi dirinya sendiri.
“Saya enggak mau menyusahkan saudara dan keluarga saya. Enggak mau jadi beban mereka. Saya ingin bisa mandiri, mas. Makanya saya datang ke Depok,” ujar Ilham.
Selama tiga tahun pertama bermukim di Depok, Ilham mencari sesuap nasi dengan menjadi pengamen. Hari demi hari dia lalui dengan memasuki satu tempat makan ke tempat makan lainnya. Turun naik angkutan umum dan bus kota.
Namun semuanya ia hentikan karena dinilainya tidak sesuai dengan panggilan hati. Batinnya kerap merasa sedih jika mendapatkan penolakan dari orang-orang yang merasa terganggu dengan kehadiran Ilham, si pengamen.
Mata Ilham menerawang mencoba mengingat masa-masa sebagai pengamen dulu. Ada kenangan terpendam yang membuatnya ingin menceritakan lika-liku sebagai pengamen namun dia tidak tahu harus memulai dari mana.
“Dulu waktu saya baru mau ngamen udah ditolak orang. Belum mulai saja saya sudah diusir mereka. Saya sedih, mas. Rasanya gimana gitu,” kata tutur Ilham sambil menirukan gerakan tangan tanda mengusir.
“Makanya sekarang saya lebih memilih mulung. Ga ada yang mengusir malah senang mereka merasa dibantu kebersihannya. Enggak dikejar petugas juga,” ujarnya.
Meski demikian, pekerjaan memulung botol plastik bekas bukanlah pekerjaan mudah. Ilham harus menempuh perjalanan yang cukup jauh demi menghidupi kehidupannya sehari-hari. Apalagi sekarang dia sudah memilik anak yang usianya baru 19 bulan, bernama Lia. Anak itu berkah dari perkawinannya dengan Dewi selama tiga tahun terakhir.
Ilham harus menunggu malam memasuki sepertiga waktunya yang terakhir, sebelum kembali ke tempat tinggalnya di kawasan Cipayung, Depok. Sebab hasil memulung sedari sore hingga malam harus segera dia setorkan kepada penadah yang terletak di Pasar Kemiri.
Meskipun hasilnya tidak menentu setiap harinya, Ilham cukup menikmati pekerjaan kedua yang dia lakoni selama 10 tahun mengadu nasib di Depok. Biasanya dia mulai memulung sejak pagi hari. Namun di bulan Ramadhan, Ilham sengaja berangkat sore agar ibadah puasanya tetap terjaga.
“Takut batal puasanya kalo berangkat dari pagi. Saya biasanya pulang pukul 02:00 pagi. Sehari bisa dapat 30 sampai 50 ribu rupiah. Cukup atau enggak tergantung kita,” kata Ilham.
Di dadanya Ilham menyimpan asa kehidupan yang lebih baik dari yang sekarang. Sebagai manusia dia ingin agar mengerjakan pekerjaan yang lebih layak dibandingkan pemulung. Namun dia berusaha untuk realistis dan mensyukuri apa yang sudah Allah berikan.
“Habis mau bagaimana lagi, saya sekolah aja enggak. Ya bisanya cuma ini. Disyukuri saja,” tutupnya.