Dalil Disyariatkanya Wakaf dan Kisah di Baliknya

0
236

JAKARTA – Salah satu cara mengeluarkan harta di jalan Allah SWT dalam Islam adalah melalui praktik wakaf. Wakaf dianggap sebagai amalan yang terus memberikan pahala, bahkan setelah orang yang melakukan wakaf telah meninggal dunia.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan wakaf?

Secara etimologis, kata “wakaf” berasal dari waqafa-yaqifu-waqfan, yang artinya menahan, berhenti, diam di tempat, atau berdiri. Selain itu, kata wakaf juga memiliki makna habasa-yahbisu-tahbisan, yang mengindikasikan terhalang untuk digunakan.

Dalam terminologi, wakaf didefinisikan sebagai tindakan menahan suatu benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan zatnya serta menyedekahkan manfaatnya.

Ibnu Hanifah, seperti yang dikutip dalam Kitab Terlengkap Biografi Empat Imam Madzhab oleh Rizem Aizid, juga memberikan definisi wakaf sebagai menahan suatu benda yang tetap menjadi milik si wakif (orang yang memberikan wakaf) dengan tujuan beramal atau menggunakannya untuk kebaikan.

Dalil Disyariatkanya Wakaf

Melansir buku Hukum Perdata Islam oleh Siska Lis Sulistiani, kata wakaf tidak disebutkan secara spesifik dalam Al-Qur’an, sehingga para ulama menyandarkan landasan disyariatkannya wakaf dengan dalil yang umum.

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“Lan tanalul-birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun, wa ma tunfiqu min syai`in fa innallaha bihi ‘alīm.”

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.” (QS Ali Imran: 92)

Dijelaskan pula, turunnya ayat ini disangkutpautkan dengan kisah Abu Thalhah yang mewakafkan hartanya yang paling ia sukai, yakni sebidang tanah subur di Madinah.

Lalu, ia meminta pendapat Rasulullah, dan beliau menyarankan agar disedekahkan kepada kerabatnya. Kemudian, Abu Thalhah membaginya kepada Hisan bin Tsabi dan Ubay bin Ka’ab.

Selain itu, ada pula riwayat mengenai Zaid bin Haritsah yang mendatangi Nabi SAW dengan menuntun seekor kuda. Ia berkata kepada Rasulullah bahwa kuda tersebut dapat digunakan di jalan Allah SWT (untuk jihad para pejuang).

Kemudian, Nabi SAW memberi kuda itu kepada Usamah. Saat Zaid mendapati bahwa kuda itu sudah tak di tangan Rasul, ia bertanya tentangnya. Lalu beliau berkata: “Allah telah menerima sedekahmu.”

Ada satu kisah lagi yang menjadi sebab diturunkannya surah Ali Imran ayat 92, yaitu ketika Ibnu Umar membeli seorang hamba sahaya wanita yang paling baik, kemudian ia memerdekakannya.

Saat orang lain menanyakan kepadanya mengapa dibebaskan, kemudian Ibnu Umar membacakan ayat di atas.

Adapun hadis Nabi SAW menjadi dasar dianjurkannya wakaf dalam hadis adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, mengutip Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali karya M. Abdul Mujieb dkk. Rasulullah bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه

Artinya: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: amal jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Imam Al-Ghazali menjelaskan amal jariyah yang dimaksud dalam hadits tersebut yakni wakaf. Lantaran benda atau barang yang diwakafkan bermaksud agar kepemilikannya tidak berpindah-pindah, serta manfaat dari benda itu dapat digunakan bagi kemaslahatan umum.

umat Islam memang meyakini bahwa pahala amal jariah seperti wakaf yang disebut dalam hadis Nabi SAW tidak akan terputus selama benda yang diamalkan tetap memberi manfaat bagi kebutuhan banyak orang.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here