MANILA—Presiden Filipina, Rodrigo Duterte melarang dua awak media memasuki istana kepresidenan. Tindakan ini sontak menuai kritik dari kelompok pembela hak asasi manusia Filipina.
Mereka menyebut tindakan ini “mengerikan dan sangat tidak pantas” dilakukan seorang presiden. Selasa (20/2) kemarin, Rappler melaporkan, Duterte memerintahkan secara langsung tim keamanan presidennya untuk melarang CEO Rappler dan salah satu reporternya. Situs berita independen Rappler selama ini dikenal kerap bersuara keras terhadap Duterte.
Konon, keputusan ini diambil setelah presiden menonton rapat dengar pendapat di Senat, di mana salah satu orang kepercayaannya, Christopher Go, ditanya terkait perannya dalam sebuah kontrak militer yang dipertanyakan.
Sementara itu, juru bicara Duterte, Harry Roque, mengatakan, reporter Rappler yang diketahui bernama Pia Ranada, dapat terus meliput dan mengikuti arahan media (press briefing) yang digelar pihak Istana Kepresidenan sampai ada keputusan pengadilan mengenai kasus penutupan situs berita tersebut. Pengarahan tersebut biasanya diadakan di gedung lain di samping istana kepresidenan.
Di saat bersamaan, dalam sebuah pernyataan, National Union of Journalists of Philippines (NUJP) mengatakan, keputusan Duterte menunjukkan sisi mengerikan dari kepribadian presiden Filipina ini. “(Sikap ini) sama sekali tidak menjadi pertanda baik bagi kesehatan dan masa depan demokrasi yang sudah tidak pasti di negara kita.”