KELANJUTAN gencatan senjata resmi antara Hamas dan Israel yang berlangsung sejak 19 Januari lalu lagi-lagi terancam ambruk setelah Hamas menyatakan tidak bersedia membebaskan sejumlah sandera warga Israel yang tersisa.
Sekitar 240-an warga sipil dan beberapa tentara perempuan Israel disandera Hamas dalam serangan mendadak ke wilayah selatan negara Yahudi itu pada 7 Okt. 2023 yang lalu memicu bombardemen oleh Israel ke wilayah Gaza selang sehari kemudian (8 Okt.) sehingga menewaskan sekitar 47-ribu warga Palestina dan lebih 100-ribu terluka.
Dalam gencatan senjata tahap pertama, 33 sandera Israel termasuk tiga tentara peermpuan ditukarkan dengan 600-an tahanan Palestina yang mendekam di sejumlah penjara Israel, dan saat ini kedua pihak sedang menegosiasi tukar menukar pembebasan sandera dan tahanan tahap kedua.
Tentara Israel (IDF) yang sudah ditarik mundur dari Gaza sesuai perjanjian gencatan senjata tahap pertama, dilaporkan sedang menyiapkan satuan cadangan sebagai langkah antisipasi kemungkinan kembalinya konflik di sana.
Ketegangan meningkat seiring kemarahan dunia Arab terhadap rencana Presiden AS Donald Trump, yang ingin mengambil alih Gaza, merelokasi penduduk Palestina, serta membangun resor pantai bertaraf int’l di kawasan itu.
Langkah Trump menuai kecaman luas dan dinilai makin memperburuk situasi di Timur Tengah, sementara upaya diplomasi di tengah ancaman perang baru terus dilakukan oleh Mesir dan Qatar, yang semula bersama AS memprakasai gencatan senjata tahap pertama.
Pemimpin Hamas di Gaza, Khalil Al Hayya, dikabarkan telah tiba di kairo, Mesir untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut. Sesuai perjanjian, Hamas diharapkan membebaskan tiga sandera lagi pada Sabtu (15/2).
Namun, kelompok tersebut menyatakan akan menunda pembebasan karena menganggap Israel telah melanggar ketentuan gencatan senjata.
Sabtu, deadline pembebasan sandera
Merespons pernyataan Hamas, Trump mengingatkan agar semua sandera dibebaskan paling lambat Sabtu siang. Jika tidak, ia akan “membiarkan kekacauan terjadi” di Gaza.
Sedangan Menhan Israel, Israel Katz menegaskan, gencatan senjata hanya bisa berlanjut jika Hamas terus membebaskan sandera.
“Jika Hamas menghentikan pembebasan sandera, maka tidak ada gencatan senjata, dan itu berarti perang terjadi,” ujarnya dalam pertemuan di markas pertahanan Israel di Tel Aviv.
Katz juga mengindikasikan bahwa jika perang pecah kembali, intensitasnya akan berbeda dan berpotensi mengarah pada “terwujudnya visi Trump untuk Gaza”.
Sebaliknya, Hamas menolak tekanan yang datang dari Israel dan AS. “Hamas tidak akan tunduk pada ancaman AS dan Israel,” ujar juru bicara Hamas, Hazaem Qassem.
Sementara PM Benjamin Netanyahu, Selasa (11/2) m enyatakan bahwa jika Hamas tidak memenuhi tenggat waktu, Israel akan melanjutkan pertempuran secara intensif.
Namun, ia tidak menyebutkan jumlah sandera yang harus dibebaskan agar gencatan senjata tetap berlaku. Sebagai bentuk persiapan, Netanyahu telah memerintahkan militer untuk mengumpulkan pasukan di dalam dan sekitar Gaza.
Militer Israel juga mengumumkan pengerahan pasukan tambahan ke Israel selatan, termasuk memobilisasi pasukan cadangan.
Trump saat menerima Raja Abdullah di Gedung Putih, Rabu lalu (12/2) meminta pemimpin Yordania itu untuk memastikan Hamas memahami parahnya situasi jika sandera tidak dibebaskan sesuai jadwal, Sabtu.
Rakyat Palestina teutama penduduk Gaza tentu menghendaki terwujudnya perdamaian yang langgeng agar korban tidak berjatuhan lagi dan kesengsaraan mereka di tengah perang berakhir, namun agaknya para petinggi militer di lapangan berfikiran lain.(AFP/Reuters/ns)