Kekerasan terhadap perempuan meningkat, diskusi Dompet Dhuafa menawarkan solusi penghapusan kekerasan dari keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat jelas memberikan rasa khawatir kepada semua pihak. Karena perempuan adalah muara kehidupan manusia di bumi ini. Dari Rahim perempuan lahir keturunan anak bangsa dan perempuan jualah yang mengasuh di kala kecil serta menjadi ‘malaikat’ pendamping di kala dewasa.
Sebagai lembaga yang selalu berkhitmat untuk kepentingan publik, Dompet Dhuafa terpanggil untuk mendukung seluruh kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, juga memberi apresiasi terhadap wanita tangguh dan mencari solusi untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan itu.
Digawangi Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ), lembaga riset dan studi besutan Dompet Dhuafa ini menginisiasi diskusi nasional bertajuk “Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan,” pada Kamis, 29 November 2018.
Diskusi ini diisi oleh narasumber dari berbagai perspektif, seperti Bagus Riyono (President International Association of Muslim Psychologist), Dwi Hastuti (Pakar Perkembangan Anak, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB), Evi Risna Yanti (Tim Hukum Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa), Priyadi Santosa (Sekretaris Deputi Perlindungan Hak Perempuan), dengan mengambil tempat di Sofyan Hotel Soepomo, Tebet, Jakarta.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Dwi Hastuti dan Bagus Riyono ialah memaksimalkan peran keluarga dalam mengedukasi. Karena keluarga merupakan tempat pertama kali seseorang menerima pendidikan. Diharapkan lewat keluarga ini, lewat kelompok sosial yang mikro tersebut dapat mempengaruhi hal sekitar, khususnya bangsa negara Indonesia. Jadi untuk menciptakan perubahan yang besar, kita harus memulainya dari aspek-aspek yang kecil dan utama, yakni keluarga.
“Healthy Family, Healthy Individual,” jelas Dwi Hastuti.
Selain itu, Evi Risna Yanti, menganjurkan untuk setiap orang mendorong para korban kekerasan untuk berani berbicara dan berani melapor. Mengingat jika hal tersebut dibiarkan, maka akan menciptakan iklim masyarakat yang kurang sehat dan amoral.
“Korban merasa kalau kekerasan seksual yang diterima merupakan aib, maka mereka tidak berani berbicara. Bahkan ada yang merasa tidak mau repot berurusan dengan pihak berwajib, makanya mereka memilih diam,” ujar Evi Risna Yanti.
Lebih jauh lagi Evi menjelaskan butuh waktu yang lama untuk membuat seseorang berani melaporkan perlakuan kekerasan seksual yang diterima. Ini juga yang membuat dia yakin, korban kekerasan seksual butuh dukungan dari segala pihak, baik itu keluarga, tetangga, teman sekitar, pihak pemerintah maupun non pemerintah.
Lewat diskusi tersebut, juga ingin memperluas kajian seputar kekerasan seksual. Bahwasanya tidak selalu kekerasan seksual melibatkan aspek gender. Walaupun baik Bagus Riyono maupun Haryo Mojopahit, selaku Manajer Advokasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa mengakui hal tersebut terjadi karena ada ketimpangan relasi kuasa, baik lintas gender maupun dengan gender yang sama.
Diskusi tersebut hanyalah salah satu upaya untuk melibatkan berbagai pihak, baik dari segi gender, profesi, dan usia untuk mencari solusi bersama terkait permasalahan kemanusiaan.
Haryo Mojopahit, menegaskan banyak program-program pemberdayaan Dompet Dhuafa yang melibatkan berbagai pihak. Tidak terbatas pada satu pihak atau gender saja. Ini diharapkan dapat meminimalisir ketimpangan yang terjadi antara lelaki dan perempuan atau sesamanya baik secara sosial maupun ekonomi.