Hukum Istibdal Harta Benda Wakaf Menurut 4 Mazhab

Ilustrasi. (Foto: Ist)

JAKARTA – Ketika seseorang atau lembaga menerima harta wakaf, maka mereka harus amanah dalam mengelolanya. Namun, bagaimana jika harta wakaf tersebut dijual dan hasilnya digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.

Jual harta wakaf atau tukar guling wakaf dikenal sebagai istibdal. Dalam buku Bolehkah Jual Harta Wakaf tulisan ustazah Isnawati, hukum istibdal ini berbeda pendapat keempat mahzab.

Dalam hadis Bukhari dijelaskan Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah di khaibar. Beliau mendatangi Rasulullah SAW meminta pendapat beliau:

“Ya Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah aku dapat harta lebih berharga dari itu sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan untukku dalam masalah harta ini?”.

Maka Rasulullah SAW berkata, “Bila kamu mau, bisa kamu tahan pokoknya dan kamu bersedekah dengan hasil panennya. Namun dengan syarat jangan dijual pokoknya (tanahnya), jangan dihibahkan, jangan diwariskan.”

Maka, Umar ra bersedekah dengan hasilnya kepada fuqara, dzawil qurba, para budak, ibnu zabil, juga para tetamu. Tidak mengapa bila orang yang mengurusnya untuk memakan hasilnya atau memberi kepada temannya secara makruf, namun tidak boleh dibisniskan.”

Dalam hadis tersebut nabi secara tegas melarang mengubah harta benda wakaf yang telah diwakafkan, menjualnya, mewariskannya atau bahkan hanya sekadar menghibahkannya.

Namun, sebagian ulama memiliki pandangan tersendiri mengenai istibdal. Jika di dalamnya ada kemashlatan yang lebih besar, para ulama berbeda tentang hukum dan ketentuannya.

Menurut Mazhab Hanafi

Menurut Al-Kasani menyebutkan di dalam mazhab Hanafi menukar harta wakaf dibolehkan apabila wakif mensyaratkan di dalam ikrar wakaf, dan ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad.

Namun, mereka berbeda pendapat apabila wakif tidak menyebutkan untuk menukarkannya sewaktu-waktu, saat melakukan ikrar wakaf.

Mazhab Maliki

Mazhab Maliki tidak membolehkan praktik tukar guling atau menjual harta wakaf. Namun, dalam permasalahan ini mereka mengecualikan dalam keadaan-keadaan tertentu.

Mazhab Maliki memberikan ketentuan menjual tanah wakaf atau rumah atau apa saja selain masjid, jika berhubungan dengan kepentingan oranng banyak, maka dalam pelaksanaannya hendaklah melibatkan hakim atau pemerintah.

Bahkan, pemerintah bisa memaksa untuk menukarnya, tapi dengan syarat memberikan penggantian yang hasilnya dibelikan harta wakaf pengganti.

Mazhab Syafi’i

Mazhab asy-Syafi’i tidak jauh berbeda pendapatnya dengan mazhab Maliki, bahkan lebih bersikap ketat dan tegas terhadap tindakan istibdal, demi menjaga kelestarian barang wakaf.

Imam Syafi’i melarang secara mutlak menjual atau menukar masjid, meskipun masjid tersebut telah rapuh atau rusak.

Mazhab Hambali

Al-Mardawi menyebutkan dalam kitabnya “alInshaf”, tidak diperkenankan seseorang menukar harta wakaf, kecuali harta tersebut telah rusak atau berkurang atau hilang manfaatnya. Maka, boleh dijual, kemudian hasilnya dibelikan semisal yang telah dijual.

Seperti seekor kuda perang yang telah diwakafkan, kalau kuda tersebut sudah tidak bisa dimanfaat atau dipakai buat perang, maka boleh menjualnya, kemudian hasilnya dibelikan dengan kuda yang bisa dibawa untuk berperang.

Begitu juga dengan bangunan masjid kalau sudah tidak layak, tidak bisa dipergunakan, maka boleh merenovasi atau menggantinya dengan masjid yang serupa.

Pelaksanaan istibdal hanya boleh dilakukan kalau harta wakaf tersebut mengalami kerusakan atau tidak berdaya guna, selama masih memberi manfaat tidak boleh melakukan penukaran.

Pendapat mazhab ini terkait perubahan kondisi harta wakaf itu seperti hilangnya dayaguna dan manfaatnya, atau ada situasi darurat yang menimpa barang wakaf, seperti diperlukan dalam rangka  perluasan masjid atau pelebaran jalan. (bwi.go.id)