Hukum Merayakan Imlek bagi Muslim

0
224
Ilustrasi Perayaan Imlek. (Foto: Antara)

JAKARTA – Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya dan etnis, termasuk keberadaan etnis Tionghoa yang telah lama hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi.

Salah satu tradisi yang dikenal luas dari etnis Tionghoa adalah perayaan Tahun Baru Imlek. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah umat Muslim Tionghoa boleh merayakan Imlek?

Dalam ajaran Islam, perayaan budaya seperti Imlek tidak secara otomatis dilarang, asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat.

Al-Qur’an mengajarkan untuk menghormati keberagaman dan menjalin persaudaraan, sebagaimana tertuang dalam surah Al-Baqarah ayat 208 yang menyerukan untuk menjalani Islam secara menyeluruh tanpa sikap ekstrem.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.”

Makna Imlek dalam Perspektif Budaya

Imlek pada awalnya adalah tradisi syukur petani di Tiongkok atas berakhirnya musim dingin dan tibanya musim semi. Ucapan “Gong Xi Fa Cai,” yang sering digunakan, sebenarnya berarti harapan untuk rezeki yang melimpah.

Seiring waktu, tradisi ini menjadi bagian dari identitas budaya etnis Tionghoa, termasuk di Indonesia.

Simbol-simbol Imlek seperti liong dan barongsai juga menjadi media pembauran budaya antara masyarakat Tionghoa dan pribumi. Hal ini menunjukkan bahwa Imlek bukan hanya perayaan etnis, tetapi juga sarana akulturasi.

Perspektif Islam terhadap Perayaan Budaya

Islam tidak melarang tradisi budaya yang bertujuan mensyukuri nikmat Allah, selama tidak melibatkan unsur yang bertentangan dengan syariat.

Dalam surah Al-Ahzab ayat 33, umat Islam diajarkan untuk menjauhi sikap berlebihan dalam tradisi dan tetap menjaga adab.

“Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Oleh karena itu, muslim Tionghoa diperbolehkan merayakan Imlek jika dipahami sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Namun, apabila perayaan tersebut melibatkan unsur penyembahan selain Allah, maka tidak diperbolehkan.

Studi Kasus Muslim Tionghoa di Indonesia

Penelitian oleh Hasyim Hasanah menunjukkan bahwa di Lasem, Rembang, komunitas muslim Tionghoa yang dikenal dengan istilah “Ampyang” telah merekontekstualisasi perayaan Imlek sebagai wujud akulturasi budaya.

Dalam komunitas ini, Imlek dirayakan dengan penuh semangat kebersamaan, toleransi, dan solidaritas sosial, tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.

Penelitian lain oleh Fajarul Falah dan Suharjianto di Solo juga mengungkapkan bahwa seni liong dan barongsai yang awalnya merupakan tradisi Tionghoa, telah menjadi sarana pembauran antara etnis Tionghoa dan Jawa. Hal ini membuktikan bahwa budaya dapat menjadi jembatan persaudaraan antar-etnis.

Imlek dalam Perspektif Islam

Islam mengakui budaya sebagai hasil kreativitas manusia yang dapat diterima selama tidak melanggar syariat. Perayaan Imlek oleh muslim Tionghoa dapat dilakukan jika ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan tidak melibatkan unsur syirik.

Hal ini sejalan dengan semangat toleransi dalam Islam, sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Kafirun ayat 6 dan QS Al-A’raf ayat 31.

Muslim Tionghoa dapat merayakan Imlek selama perayaan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu, perayaan ini dapat menjadi sarana mempererat persaudaraan dan mencerminkan harmoni budaya di Indonesia.

Imlek, lebih dari sekadar tradisi, juga simbol kerukunan yang mencerminkan semangat kebhinekaan di Tanah Air.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here