
BEBERAPA hari lalu Cawapres Mahfud MD mengeluarkan statemen bahwa ibu yang melahirkan anak tidak berakhlak berdosa besar pada bangsa. Ramailah reaksi kaum ibu. Tetapi maksud Mahfud MD ternyata, berdosa kita jika membiarkan ibu-ibu melahirkan kemudian membiarkan anaknya tidak berakhlak. Ini banyak terjadi karena masih banyak kaum ibu tidak punya penghasilan, mengais rezeki seadanya, menjadi buruh kasar dengan bayaran yang sangat kecil, itu pun tak teratur. Sang anak kemudian menjadi tak berakhlak gara-gara sang ibu gagal mendidik anaknya lantaran tak punya waktu.
Sebetulnya yang berdosa besar ya ayah si bocah itu sendiri. Sebab kewajiban ayah itu tak sekedar “nyetrom” doang seperti ayam jago. Tetapi ayah juga membesarkan dan mendidik untuk anak-anaknya. Dalam kultur Jawa disebutkan, tugas seorang suami adalah: ngayomi (melindungi), ngayeli (memberi nafkah batin), ngayani (menjamin ekonomi), ngajari (mendidik). Bila ini semua terpenuhi, berbahagia sekali seorang istri karena tugas dia tinggalah mamah (makan), dan mlumah (melayani suami di ranjang).
Akan halnya ucapan Mahfud MD tersebut, anggota TKN Prabowo Otto Hasibuan langsung memastikan bahwa ucapan Cawapres 03 itu arahnya ke Ibu Iriana dan anaknya si Gibran. Terlepas dari kebenaran pembelaan orang TKN tersebut, tampilan pertama kali Gibran saat Jokowi selesai dilantik sebagai Presiden RI Oktober 2014, terasa songong sekali di depan pers. Kemudian ketika Gibran ketemu AHY di Istana, lagi-lagi tampilan Gibran sama sekali tidak njawani sebagai orang Solo. AHY putra SBY duduk manis ngapurancang, sementara Gibran berkacak pinggang seperti wayang mau diadu (perang).
Melihat tampilan bocah yang tidak punya sopan santun atau tatakrama, orang biasanya akan mengatakan: anake sapa kuwe (anak siapa itu). Nah, yang kena tembak langsung kedua orangtuanya. Bila dikatakan: kaya cah ora mangan sekolahan (seperti anak tak bersekolah), yang langsung kena Pak Guru/Bu Gurunya di kelas. Tetapi asal tahu saja ya, mapel Budi Pekerti dihilangkan tahun 1984 di era Mendikbud Daud Yusuf. Dikiranya mapel agama yang hanya berlangsung seminggu sekali itu bisa menyelesaikan semua masalah.
Sebelum tahun 1984, pelajaran Budi Pekerti berhasil mencetak lulusan SR/SD yang punya etika pada sesamanya. Sebab di sekolah diajarkan cara berterima kasih ketika diberi seseorang, mengucap permisi atau nuwun sewu ketika melintas di depan orang sedang duduk-duduk bersama. Diajarkan pula cara membalas budi pada seseorang, jangan colong jupuk (mencuri) milik orang, termasuk juga pamitan ketika mau pergi ke sekolah. Semua ini diajarkan guru lewat ucapan langsung atau dikemas dalam dongeng.
Gara-gara hilangnya mapel Budi Pekerti tersebut, anak-anak sekarang banyak yang menjadi kurang beretika dalam pergaulan masyarakat lingkungannya. Ketemu tetangga sendiri, tidak mau bertegur sapa, diajak main ke rumah famili, sibuk dengan gadgetnya sendiri. Diminta menghormati orang yang lebih tua, ketika sibocah sudah duduk di bangku SMA jawabannya sungguh menyakitkan. Katanya, “Tua kan bukan pretasi, hanya sebuah keniscayaan.” Bayangkan……..
Sebagaimana kata Mahfud MD, perilaku kurang beretika itu bisa menjurus ke perilaku koruptif. Dan ini sudah benar-benar terjadi. Ketika bocah-bocah pinter itu sudah jadi pejabat, kini banyak yang terjerat kasus korupsi. Yang jadi Kepala Desa dan Kepala Daerah korupsi, yang jadi anggota DPRD dan DPRD, maling juga. Yang jadi mentri pun sami mawon. Bahkan, KPK yang tugasnya nangkepi maling uang negara, ketuanya model Firli Bahuri ternyata maling juga. Pagar makan tanaman!
Ketika bocah sudah jadi pejabat dan kemudian jadi koruptor, masih salahkah bunda mengandung? Ibu mengandung tidaklah salah, sebab jika ditilik dari kacamata Prof. Dr. Mahfud MD, seorang ibu tak sempat mendidik anaknya karena terlalu banyak beban yang ditimpakan padanya. Ya kerja dengan upah kecil, masih juga bersih-bersih rumah, mencuci dan masak. Belum lagi malam harinya, masih “dibebani” pula oleh suaminya dalam rangka menjalankan sunah rosul.
Tugas ibu memang kelewat banyak, terlebih-lebih yang berpenghasilan minim sebagaimana kata Mahfud MD. Maka sebuah hadits Nabi mengingatkan, bahwa anak harus lebih banyak berbakti pada ibunya, baru pada ayahnya. Dalam hadits riwayat Buchari Nabi menyebutkan sampai 3 kali, “Ibumu, ibumu, ibumu, barulah ayahmu.” (Cantrik Metaram)