IRAN dan Rusia, dua negara pndukung strategis rezim Preiden Bashar al-Assad, paling dirugikan akibat jatuhya Suriah ke tangan kubu pemberontak dimotori oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham, Minggu (8/12) lalu.
Pemerintahan Iran dilaporkan telah membuka jalur komunikasi langsung dengan kelompok-kelompok dalam kepemimpinan baru di Suriah pasca runtuhan dinasti al-Assad yang memerintah Suriah selama lebih setengah abad.
Hafez al-Assad memimpin sejak 1971 sampai meninggal pada tahun 2000, dilanjutkan Bashar al-Assad hingga November 2024.
Melansir Reuters pada Senin (9/12), seorang pejabat senior Iran mengatakan jalur komuniasi dilakukan negaranya sebagai upaya untuk “mencegah permusuhan” antara kedua negara.
Teheran sendiri disebut khawatir tentang bagaimana perubahan kekuasaan di Damaskus akan memengaruhi pengaruh Iran di Suriah, yang menjadi kunci cengkeraman pengaruh regionalnya.
Beberapa jam setelah jatuhnya Assad, Iran mengatakan pihaknya mengharapkan hubungan dengan Damaskus terus berlanjut berdasarkan “pendekatan bijaksana dan pandangan jauh ke depan “. Iran juga menyerukan pembentukan pemerintahan inklusif yang mewakili semua segmen masyarakat Suriah.
“Kekhawatiran utama bagi Iran adalah apakah penerus Assad akan mendorong Suriah menjauh dari orbit Teheran,” kata pejabat Iran lainnya. “Itu adalah skenario yang ingin dihindari Iran.”
Namun, menurut pejabat Iran yang tidak mau disebutkan namanya, tidak ada kepanikan saat Teheran mencari jalur diplomatik untuk menjalin kontak dengan kelompok penguasa baru Suriah yang memiliki pandangan lebih dekat dengan Iran”.
Putuskan akses pasokan ke Hizbullah
Suriah di bawah rezim baru pasca-Assad dicemakan bisa merampas satu-satunya rute pasokan darat iran ke lasykar Hizbullah, proksinya yang beroperasi di Lebanon jika mereka menolak membuka akses utama Iran ke Mediterania dan ke “garis depan” melawan Israel.
Seorang pejabat senior Iran menilai, negaranya bakal kehilangan sekutu penting di Damaskus, sementara kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih pada Januari 2025 bisa jadi juga terbuka bagi pemimpin baru Suriah.
“Keterlibatan ini adalah kunci untuk menstabilkan hubungan dan menghindari ketegangan regional lebih lanjut,” kata pejabat itu.
Dua pejabat Iran mengatakan, Teheran waspada terhadap Trump yang menggunakan penggulingan Assad sebagai peluang untuk mengintensifkan tekanan ekonomi dan politik terhadap Iran, “baik untuk memaksakan konsesi atau untuk mengacaukan Republik Islam”.
Setelah menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 dengan enam negara besar pada tahun 2018, Presiden Trump saat itu menjalankan kebijakan “tekanan maksimum” yang menyebabkan kesulitan ekonomi ekstrem dan memperburuk ketidakpuasan publik di Iran.
Trump terbukti menempatkan pejabat yang agresif terhadap Iran dalam pemerintahan yang direncanakannya.
Pada tahun 2020, Trump, sebagai presiden, memerintahkan serangan pesawat nirawak yang menewaskan Qassem Soleimani, komandan militer Iran yang paling kuat dan dalang serangan luar negeri terhadap kepentingan AS dan sekutunya.
Meredupnya pengahruh Iran Jatuhnya Assad memperlihatkan semakin berkurangnya pengaruh strategis Teheran di kawasan itu, diperburuk oleh serangan militer Israel terhadap Hizbullah di Lebanon dan kelompok militan Palestina Hamas di Gaza. Selama ini Iran menempatkan satuan Garda Revolusinya (IRGC) di wilayah Suriah juga mendukung dan mempersenjatai milisi Hizbullah untuk meluncurkan roket-roket ke wilayah Israel dari Lebanon. |
Iran menghabiskan miliaran dolar untuk mendukung Assad selama perang saudara di Suriah sejak 2011 dan mengerahkan satuan Garda Revolusi (IRGC) ke Suriah untuk mempertahankan sekutunya agar tetap berkuasa dan juga “Poros Perlawanan” Teheran terhadap Israel dan pengaruh AS di Timur Tengah.
Jatuhnya Assad menghilangkan mata rantai utama perlawanan regional Iran yang berfungsi sebagai rute transit penting bagi Teheran untuk memasok senjata dan mendanai proksinya, khususnya Hizbullah.
Rezim Bashar al-Assad runtuh, Minggu (8/12) mengakhiri kediktatorannya selama sekitar 24 tahun. Ia menjadi penerus rezim ayahnya, Hafez al-Assad yang menjadi Presiden Suriah sejak 1971 hingga meninggal pada tahun 2000.
Bashar kabur dan meminta suaka politik di Rusia usai pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Abu Mohammed al-Jawlani menyatakan, Suriah telah dibebaskan dari kekuasaannya.
HTS telah mengepung beberapa kota besar di Suriah termasuk Damaskus selama 12 hari sebagai upaya menggulingkan kediktatorannya.
Berikut adalah rangkuman dari pandangan para pemimpin dan tokoh internasional lainnya terhadap jatuhnya rezim al-Assad Suriah, yang diunggah melalui platform X.
Prancis
Presiden Emmanuel Macron menyebut rezim Assad sebagai “negara barbar” dan mengaku lega bahwa rezimnya telah jatuh. “Saya memberi penghormatan kepada rakyat Suriah, atas keberanian mereka, atas kesabaran mereka.
Di tengah ketidakpastian ini, saya sampaikan harapan saya untuk perdamaian, kebebasan, dan persatuan, “ ujarnya. Ia juga menyatakan, Perancis akan tetap berkomitmen untuk menjaga keamanan semua orang di Timur Tengah,” tulisnya.
Sementara PM PolandiaDonald Tusk di akun X menyebut jatuhnya Assad adalah bukti bahwa Rusia dan sekutunya bakal bisa dikalahkan.
“Peristiwa di Suriah telah membuat dunia menyadari sekali lagi, atau setidaknya seharusnya menyadari, bahwa bahkan rezim yang paling kejam pun dapat jatuh dan bahwa Rusia dan sekutunya dapat dikalahkan,” katanya.
Inggris
Sedangkan PM Inggeris Keir Starmer mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Suriah itu belum pernah terjadi sebelumnya.
“Rakyat Suriah telah menderita di bawah rezim barbar Assad terlalu lama dan kami menyambut kepergiannya. Fokus kami sekarang adalah memastikan solusi politik menang, dan perdamaian serta stabilitas dipulihkan,” katanya.
Belanda
PM Belanda Dick Schoof menyebut jatuhnya Assad sebagai “kelegaan bagi semua orang yang menderita di bawah kediktatorannya yang kejam.”
“Sekarang transisi yang damai dan pemulihan stabilitas, sambil memastikan penghormatan bagi semua minoritas di negara itu, sangat penting bagi Suriah dan kawasan tersebut. Kami mengikuti perkembangannya dengan saksama,” imbuhnya.
Uni Eropa
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen mengatakan bahwa “perubahan bersejarah di kawasan ini menawarkan peluang” tetapi mengingatkan bahwa hal itu “bukan tanpa risiko.”
“Eropa siap mendukung upaya menjaga persatuan nasional dan membangun kembali negara Suriah yang melindungi semua kelompok minoritas,” ujarnya.
Turki
Menlu Turki Hakan Fidan menilai jatuhnya rezim al-Assad sebagai “hari baru” bagi rakyat Suriah dan masa depan negara mereka.
“Turki siap mengemban tanggung jawab apa pun yang diperlukan untuk menyembuhkan luka-luka Suriah dan memastikan persatuan, integritas, dan keamanannya.
Fidan berjanji akan lebih mengintensifkan kerja kami dalam isu ini dengan negara-negara regional dan aktor-aktor internasional dalam beberapa hari mendatang,” tulisnya.
Israel
PM Israel Benjamin Netanyahu menilainya sebagai pada hari bersejarah bagi Timur Tengah.
“Runtuhnya rezim Assad, tirani di Damaskus, menawarkan peluang besar tetapi juga penuh dengan bahaya yang signifikan. “Kami menyampaikan uluran tangan perdamaian kepada semua orang di luar perbatasan kami di Suriah, “ ujarnya.
“Kepada kaum Druze, Kurdi, Kristen, dan Muslim yang ingin hidup damai dengan Israel,” serunya.
Amerika Serikat
Presiden Joe Biden mengatakan “Akhirnya rezim Assad telah jatuh”, dan menilai jatuhnya rezim al-Assad sebagai permulaan untuk “tindakan keadilan.”
“Ini adalah momen kesempatan bersejarah bagi rakyat Suriah yang telah lama menderita, untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi negara mereka yang bangga. Ini juga merupakan momen risiko dan ketidakpastian,” katanya.
“Hasil dari semua ini adalah, untuk pertama kalinya, baik Rusia, Iran, maupun Hizbullah tidak dapat membela rezim yang menjijikkan ini di Suriah. Ini adalah akibat langsung dari pukulan yang telah dilakukan Ukraina dan Israel terhadap pertahanan diri mereka sendiri dengan dukungan yang tak kenal lelah dari Amerika Serikat,” sambungnya.
PBB
Sekjen PBB Antonio Guterres menyambut baik berakhirnya “rezim diktator” Suriah dan mendesak negara itu untuk bangkit.
“Setelah 14 tahun perang brutal dan jatuhnya rezim diktator, hari ini rakyat Suriah dapat memanfaatkan kesempatan bersejarah untuk membangun masa depan yang stabil dan damai” ujarnya. Kami
Kekhawatiran Rusia
Selai Iran, Rusia juga paling ketar-ketir dan sejumlah pakar militer dan geoplitik menilai, jatuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah merupakan pukulan telak bagi Presiden Rusia Vladimir Putin.
Alasannya, Moskow selama ini telah mengeluarkan dana dan sumber daya militer besar-besaran untuk menopang rezim tersebut.
Assad melarikan diri dari Suriah dan telah mengeklaim suaka politik di Rusia, menurut media pro-Kremlin. Statusnya yang sekarang diasingkan membuat Moskow kehilangan sekutu regional utama.
Aset militer Rusia di Suriah kini terancam, seperti pangkalan Angkatan Laut-nya di kota pelabuhan Tartus, yang memberi Kremlin kehadiran di dekat sisi selatan NATO di Laut Mediterania dan juga pangkalanudarab di Khmemin, dekat kota Latakhia.
Peneliti Senior Center for European Policy Analusis (CPA) Edward Lucas kepada Newsweek (10/12) dan mantan Wakil KSAL AS Laksamana ret. Robert Muret menilai, Rusia akan mengalami pukulan telak jika kehilangan kedua pangkalannya di Suriah tersebut.
“Ini (kejatuhan rezim al Assad merupakan pukulan telak bagi prestise Rusia di kawasan itu,” kata Murrett kepada Newsweek.
Suriah, menurut dia, sangat penting bagi aset AL Rusia yang beroperasi di Mediterania,” ujarnya. “Mereka mungkin mencoba mempertahankan beberapa wilayah di sekitar sana dengan pemerintahan baru, tetapi itu pun agak sulit karena semua dukungan yang mereka berikan hanya untuk rezim Assad,” ujar Murrett yang kini menjabat Wakil Direktur Institut Kebijakan Keamanan dan Hukum Universitas Syracuse.
Para blogger militer pro-Moskow juga menyatakan kekhawatiran atas masa depan Pangkalan Udara Khmeimim yang menjadi rumah bagi pesawat-pesawat tempur Rusia yang pengebomannya di Aleppo pada 2016 merupakan kunci bagi Assad untuk mempertahankan kekuasaannya.
Yang juga berisiko adalah pos-pos taktis seperti Bandara Qamishli di timur laut, sementara laporan tentang ribuan personel Rusia yang telantar di Suriah dan peralatan yang ditinggalkan.
Runtuhnya dinasti al-Assad di Suriah, bisa jadi mengubah konstelasi dan geopolitik di kawasan Timur Tengah yang bisa jadi meniupkan angin perdamaian karena para pemain utamanya yakni Rusia dan Iran kehilanga sekutu strategisnya.
(Reuters/ns)