JAKARTA—Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, potensi zakat di Indonesia sangat besar. Data yang dirilis Bank Indonesia tahun lalu, potensi zakat di Indonesia mencapat Rp 217 triliun. Angka ini setara dengan 3,4 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Sayangnya, realisasi penghimpunan zakat per tahun di Indonesia baru mencapai Rp 2,7 triliun.
“Jarak antara potensi dan penghimpunan masih tinggi, jika melihat data itu,” ungkap Sekretaris Jenderal Forum Zakat (FOZ), Moh. Sabeth Abilawa dalam sebuah acara di PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (7/7/2015).
Namun demikian Sabeth menggarisbawahi, angka Rp2,7 triliun itu hanya angka administratif dan formal. Sementara besaran zakat yang rill lebih besar. “Yang dikelola secara tradisional, yaitu di pesantren, masjid, mushola kampong, dan di yayasan panti asuhan,” tambahnya.
“Saya yakin, angkanya lebih besar dari itu. Mungkin bisa sampai Rp 20 triliunan angka zakat itu.” Dalam catatan FOZ sendiri, dari 20 lembaga pengelola zakat yang menjadi anggotanya, tahun lalu mencapai Rp1,5 triliun.
Lebih lanjut Sabeth mengatakan, pertumbuhan penghimpunan zakat setiap tahunnya, terutama Ramadhan, terus mengalami peningkatan. “Selama ini trennya terus terjaga 20-30 persen setiap tahun,” ungkap pria yang juga ketua Yayasan Pemberdayaan Dompet Dhuafa ini.
Peningkatan ini menurut Sabeth seiring dengan pertumbuhan kelas menengah muslim di Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk tahun BPS tahun 2010, umat Islam Indonesia mencapai 88,2 persen dari total penduduk yang mencapai 240 juta. “Lebih dari separuh kaum Muslimin Indonesia dapat diasumsikan termasuk ke dalam kelas menengah yang mencapai sekitar 152 juta jiwa,” jelas Sabeth.
Senada dengan itu, Ketua Umum FOZ, Nur Effendi menilai perubahan gaya hidup kelas menengah Muslim di Indonesia menjadi peluang yang sangat besar. Kelas menengah Indonesia saat ini memiliki kedekatan baru kepada Islam, tidak hanya memunculkan ”gaya hidup baru” sebagai Muslim, seperti pergi haji dan umrah plus ziarah rohani dalam jumlah sangat besar, dan juga pemakaian jilbab/hijab, tetapi juga dalam pemberian dana filantropi.
“Jika sebelumnya banyak umat Islam membayar zakat dengan tunai dan langsung, sekarang sudah banyak yang menggunakan transfer, menggunakan gadget dan membuka web lembaga zakat,” terang Nur yang juga CEO Rumah Zakat.
Peningkatan dana filantropi Islam dalam dua dasawarsa terakhir mendorong tumbuhnya berbagai lembaga amil zakat, baik bersifat semi-pemerintah, bagian dari ormas Islam, ataupun berdiri sendiri jadi semacam LSM. Berkat peningkatan dana filantropi, dana ZIS disalurkan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, seperti membantu bangsa Palestina—termasuk membangun rumah sakit di Gaza—dan terakhir etnis Rohingya di Myanmar.