AUNG SAN SUU KYI berkilah, pemerintah Myanmar telah berupaya memperlakukan seluruh warga sebaik mungkin, namun disinformasi telah memicu eksodus besar-besaran etnis minoritas Rohingya dari negara bagian Rakhine (Arakan).
Setelah lama bergeming, pernyataan Menlu merangkap Penasehat Negara Myanmar serta penyandang hadiah Nobel perdamaian itu malah mengundang reaksi negatif terkait sikap kenegarawanannya pada aksi-aksi genocida dan kekerasan oleh militer negara itu terhadap etnis minoritas muslim Rohingya.
Memang ada foto-foto kejadian di tempat lain atau di masa lalu yang diunggah di medsos, bukan aksi kekerasan faktual, namun mengalirnya ribuan pengungsi ke perbatasan Banglades sejak beberapa pekan terakhir ini adalah fakta tak terbantahkan, memang terjadi tragedi kemanusiaan di sana.
Saat ini tercatat sudah sekitar 35.000 pengungsi membanjiri kawasan rawa-rawa di sisi Sungai Naf di perbatasan Banglades pasca perburuan yang dilancarkan militer Myanmar dan kelompok ekstrim Budha Rakhine sejak 25 Agustus lalu.
Dari berbagai sudut dunia termasuk Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam bermunculan protes, mulai dari desakan untuk menarik kembali penghargaan Nobel yang disandangnya hingga pemutusan hubungan diplomatik terhadap Myanmar.
Tentu saja yang tersirat di balik protes-protes terhadap sikap Suu Kyi adalah luapan kekesalan terhadap dia karena selayaknya bisa berbuat lebih banyak untuk menyelamatkan kaum etnis Rohingya.
Pencabutan hadiah Nobel hal yang tidak lazim, karena penghargaan itu diberikan atas perjuangan Suu Kyi sebelumnya, mendekam sebagai tahanan rumah belasan tahun di tangan rezim junta militer Myanmar.
Pemutusan hubungan diplomatik yang diserukan sejumlah kalangan di Indonesia juga dianggap tidak produktif karena malah akan menutup akses untuk membantu suku Rohingya, lagipula melanggar kesepakatan ASEAN terkait prinsip non-intervensi.
RI secara proaktif melancarkan misi diplomasi, baik dengan pemerintah Myanmar mau pun dengan Banglades yang sama-sama merasa terbebani persoalan Rohingya.
Formula 4 + 1
Indonesia mengusulkan formula 4 + 1 bagi penyelesaian isu Rohingya. Keempat elemen memuat pengembalian stabilitas dan keamanan, menahan diri dari kekerasan, perlindungan bagi semua pihak di Rakhine tanpa memandang suku dan agama serta dibukanya akses bagi bantuan kemanusiaan.
Satu elemen lagi dalam formula tersebut ialah implementasi secepatnya atas rekomendasi Laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine pimpinan mantan Sekjen PBB Kofi Annan.
Misi diplomasi yang dijalankan oleh Menlu RI Retno LP Marsudi dengan menemui Suu Kyi dan sejumlah pimpinan teras Myanmar (5/(9) serta PM Banglades Sheik Hasina (6/9) juga disambut baik oleh para pemimpin kedua negara itu.
Sejumlah negara Eropa dan anggota ASEAN mendukung langkah diplomasi kemanusiaan yang dilancarkan RI, bahkan Organisasi Kemanusiaan Bulan Sabit Iran telah menyiapkan paket bantuan pangan dan peralatan sanitasi senilai Rp1,3 milyar jika akses bantuan ke lokasi dibuka.
Puluhan ribu pengungsi Rohingya dilaporkan bergerak menuju tepal batas Myanmar dengan Banglades pasca serangan terhadap 30 pos polisi dan militer di kawasan itu oleh milisi Tentara Pengawal Rohingya Arakan (ARSA) (25/8).
Respons militer dan kelompok ekstrim Budha Rakhine agaknya berlebihan dan di luar batas kemanusiaan, dengan membabi-buta membakari rumah-rumah dan membunuh warga muslim Rohingya.
Akibatnya, para pengungsi yang mencoba menyelamatkan diri, teperangkap di kawasan rawa-rawa di sisi Sungai Naf, karena pasukan pengawal perbatasan Banglades (BSB) menolak menerima mereka. Puluhan pengungsi, terbanyak perempuan dan anak-anak tewas saat perahu yang akan menyeberangkan mereka karam.
Batasi Hak
Myanmar membatasi hak-hak etnis Rohingya yang berdiam di negara bagian Rakhine utara, sebaliknya Banglades juga menolak menerima kembali mereka karena sangat membebani perekonomian negara miskin itu.
Semula etnis muslim Rohingya yang berasal dari suku Benggali di Banglades didatangkan oleh Inggeris ke Rakhine utara yang mayoritas penduduknya pemeluk Budha sebagai pekerja perkebunan.
Yang sangat disayangkan, ada sebagian kelompok di dalam negeri yang mencoba memanfaatkan tragedi kemanusiaan Rohingya untuk memecah-belah persatuan Indonesia dengan mengangkat isu SARA.
Etnis Rohingya adalah kelompok Indo-Arya penghuni kawasan Rakhine, Myanmar barat daya yang secara etno-linguistik berkaitan dengan kelompok etnis di India dan Banglades, namun berbeda dengan penduduk Myanmar lainnya yang berasal dari Sino-Tibet.
Bangsa Rohingya menyebar di sejumlah negara di Asia, terbanyak di wilayah Rakhine, Myanmar (satu juta), Arab Saudi (400.000), kamp pengungsi Cox’s Bazar Bangladesh (300.000), Pakistan (200.000), Thailand (100.000) dan Malaysia (28.000).
Mayoritas warga Myanmar yang memeluk agama Budha tidak mengakui dan tidak memberikan hak-hak politik terhadap etnis muslim Rohingya. Perbedaan agama juga ikut memperuncing pertentangan.
Prakarsa RI mendorong penyelesaian isu Rohingya merupakan amanat konstitusi guna mewujudkan perdamaian dunia dan juga mengemban misi kemanusiaan sesuai sila kedua Pancasila.
Bagi Suu Kyi,mungkin ia tidak bisa mengubah secepatnya pola fikir kelompok militer di pemerintah Myanmar, tetapi paling tidak, ia tidak seharusnya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang melegitimasi aksi-aksi kekerasan mereka. (Reuters/AP/AFP/NS)