
KTT Darurat negara-negara Arab dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Islam di Doha, Qatar, Senin (15/9) gagal menghasilkan langkah nyata atas aksi pengeboman Israel ke Doha, Jumat pekan lalu.
Lima anggota Hamas dan seorang pejabat keamanan pemerintah Qatar tewas saat pesawat-pesawat Israel meyerang bangunan yang sedang digunakan oleh para petinggi Hamas untuk membahas isu Konflik di Gaza.
KTT darurat sendiri yang diikuti 79 delegasi dari Liga Arab dan OKI, semula bertujuan untuk merumuskan langkah bersama terhadap aksi sepihak Israel di Qatar, termasuk kemungkinan pengenaan sanksi embargo.
Namun, meski diisi pernyataan keras berupa kecaman terhadap Israel, pertemuan itu berakhir tanpa langkah nyata.
Tidak ada keputusan mengenai sanksi, embargo, atau bentuk tekanan lain terhadap Israel maupun sekutunya, Amerika Serikat (AS), berbeda dengan Embargo Minyak yang mereka lakukan pada 1973.
Saat perang Yom Kippur pecah antara Israel melawan Mesir dan Suriah, pada Oktober 1973, negara-negara Arab justru mengambil langkah drastis.
Para menteri dari OAPEC (Organisation of Arab Petroleum Exporting Countries) dipimpin Arab Saudi, memutuskan untuk mengurangi produksi minyak serta memberlakukan embargo terhadap AS dan negara lain yang mendukung Israel.
Senjata minyak itu terbukti efektif, mendorong Barat ke jurang resesi dan mempercepat gencatan senjata.
Tidak punya nyali
Kini, meski korban jiwa bombardemen Israel di Gaza telah mendekati 65.000 orang – sebagian besar perempuan dan anak-anak – negara-negara Arab tak lagi menunjukkan nyali, bahkan ironisnya, ketergantungan sejumlah negara Arab pada AS ternyata tak selalu memberi perlindungan.
Qatar, misalnya, pada 2022, ditetapkan AS sebagai sekutu utama non-NATO dan menjadi tuan rumah pangkalan udara terbesar AS di Timur Tengah.
Namun, harapan agar AS bisa menekan Israel tampak jauh dari kenyataan.
“Kami berharap, AS sebagai mitra strategis, akan gunakan pengaruh mereka terhadap Israel agar perilaku ini dihentikan,” kata Sekjen Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) Jasem Mohamed al-Budaiwi, dikutip harian pemerintah Dubai, Al Bayan.
Menurut dia, AS punya daya tekan besar terhadap Israel, dan sudah saatnya kekuatan itu digunakan.
Akan tetapi, Presiden AS Donald Trump justru berseloroh pada awal Agustus lalu dengan mengatakan: “Itu terserah Israel” saat ditanya soal operasi di Gaza, seolah menepis harapan adanya intervensi dari Washington.
AS juga tak bisa mencegah serangan Israel ke Doha saat menghantam markas pimpinan Hamas.
KTT antara para pemimpin Arab dan Muslim semula bertujuan mempertimbangkan rancangan resolusi mengenai serangan Israel terhadap Negara Qatar untuk menunjukkan solidaritas dengan negara-negara Teluk.
Namun faktanya, KTT Doha memperlihatkan, kekayaan besar negara-negara Teluk tidak serta-merta berbanding lurus dengan pengaruh nyata dalam menghentikan perang di Gaza.
Israel tetap melanjutkan operasi militernya, bahkan Selasa pagi mengumumkan telah memulai operasi darat di Gaza.
“Pemerintah Arab selama satu abad terakhir belum mencapai kedaulatan penuh,” ujar Rami Khouri, analis senior di American University of Beirut.
“Mereka masih bergantung pada negara asing untuk kesejahteraan, perlindungan, atau bahkan kelangsungan hidup mereka,” imbuhnya.
Sudah waktunya negara-negara Arab mengintropeksi kelemahan masing-masing dan mengonsolidasikan secara konkrit, strategi mereka melawan Israel. (CNN/ns)



