Menjadi relawan rohingya bersama Dompet Dhuafa Volunteer memberikan pengalaman berharga bagiku, ini bukanlah kali pertama menjadi relawan, akan tetapi rasa yang berbeda kudapatkan di lokasi pengungsian Rohingya di Langsa, Aceh Timur, medio Mei 2015 lalu.
Nurani terdorong untuk mengulurkan tangan sembari berharap agar kehidupan lebih baik lagi dari sebelumnya, karena harus kita sadari bahwa setiap manusia berhak atas hidupnya masing-masing.
Membuat mereka tertawa dan melihat mereka mempraktekkan apa yang telah diajarkan membuat lelahku hilang dan tidak terasa sedikit pun. Ketika duduk di antara mereka di dalam pengungsian, bercerita dan saling belajar bahasa masing-masing yang diakhiri dengan tawa, membuat rasa persaudaraan ini semakin hangat, rangkulan ibu-ibu Myanmar membuat hatiku semakin tersayat, mereka saudaraku, mereka sedang membutuhkan uluran tangan untuk melepaskan mereka dari belenggu penderitaan.
Seorang perempuan Myanmar mengatakan kepada saya “Ara bun.” yang memiliki arti, kita kakak adik. Saya membalas, “ya, ara bun.” Sungguh sedih hati ini ketika ia memelukku, tetapi aku harus tetap memberikan senyuman untuk menguatkan mereka.
Beberapa hari bersama mereka semakin menyadarkanku bahwa di belahan bumi manapun, sesama ummat manusia yang beragama dan memiliki hati nurani harus saling tolong-menolong.
Panasnya terik matahari tak melunturkan semangat dan keinginan para relawan untuk memberikan dan saling berbagi kepada mereka. Suasana lokasi pengungsian yang semakin hari semakin berwarna, sedikit demi sedikit membuat mereka melupakan sakit yang mereka rasakan, canda tawa saat remaja Myanmar mengajarkan saya berbahasa Myanmar, dan meminta saya mengucapkannya hingga saya bisa, membuat pertemanan ini semakin terjalin.
Semangat mereka dalam belajar membuat para relawan semakin bersemangat dalam memberikan pelajaran kepada mereka.
Zaitusson adalah seorang warga Myanmar yang selalu membantu membereskan Dapur Hangat setibanya tim Dompet Dhuafa Volunteer tiba di lokasi pengungsian.
Aktivitas di lokasi pengungsian sepenuhnya dilakukan sebagai bentuk kepedulian dengan sesama, dengan niat tulus tanpa pamrih.
Ada pertemuan maka ada pula perpisahan, waktu terasa cepat berlalu, di hari terakhir berada di lokasi pengungsian, ketika berpamitan dengan para pengungsi, aku hanya mengatakan, “jaga diri kalian, lindungilah perempuan dan anak-anak, kami akan berusaha membantu kalian, kita saudara”.
Mereka mengucapkan terimakasih untuk segalanya dan mereka mengatakan harus kembali secepatnya karena mereka menunggu.