Masyarakat Aceh heboh ketika mendengar dan menyaksikan manusia perahu terdampar di Langsa, (24/4/2015) lalu. Mereka duduk di dalam perahu, susun paku, berdesak-desakan. Banyak anak-anak, lansia dan kaum wanita juga. Dan mereka berbulan-bulan di laut tanpa makanan dan minuman yang memadai.
Ketika mereka diselamatkan nelayan Langsa, Aceh, sontak banyak media yang memberitakan keprihatinan itu. Setelah dibawa ke darat dari perahu mesin yang mati dan terombang-ombing di laut lepas, diketahuilah mereka berasal dari Rohingya dan sebagian lagi Bangladesh.
Kehebohan pemberitaan tentang manusia perahu, juga sampai ke telinga mahasiswa, terutama mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara. Salahsatunya adalah Dayat Hasugian, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Jurusan Akutansi Syariah, Semester 8 ini, menjadi penasaran.
Dayat akhirnya mencoba mencari tahu siapa orang Rohingya. Ia pun melakukan pencarian di internet. Ia kaget dan miris dengan nasib masyarakat Rohingya ketika ia mengetahui kalau bangsa Rohingya itu tidak diakui di negaranya Myanmar dan menjadi korban kekerasan rasisme. Lebih miris lagi ketika Dayat tahu kalau warga Rohingya, Myamar ini beragama Islam.
Rasa persaudaraan sebagai muslim di hati Dayat menjadi menggelegak. Ia tidak bisa diam, pikirannya menjadi kacau karena berbagai tandatanya memenuhi kepalanya. Ia pun mulai mengungkapkan keluh kesahnya kepada teman-temannya sesama mahasiswa.
“Kita tidak boleh tinggal diam, warga Rohingya itu saudara kita,” ungkap Dayat ke teman-temannya.
Akhirnya Dayat dan teman-teman mahasiswa lainnya, saat itu ada 6 orang (3 perempuan: Leli Siregar, Liza, Nur dan 3 laki-laki: Dayat Hasugian, Muhammad Nurul Abdi, Purnama Laoli), sepakat untuk melakukan sesuatu. Mereka mendaftarkan diri menjadi relawan ke Dompet Dhuafa Waspada Sumatera Utara, Rabu (20/5/2105).
Niat baik dayat dan teman-temannya itu disambut oleh Unit Respon DD Waspada Sumatera Utara, Syahrul yang memfasilitasi mereka untuk dikirim ke Posko Respon Dompet Dhuafa di Langsa.
Sesampai di Langsa, di hari yang sama, Dayat dan teman-temannya langsung melihat kondisi para pengungsi. Mereka benar-benar prihatin melihat kondisi muslim Rohingya itu. Mereka mendapat kisah para pengungsi ada yang sudah terombang-ambing selama 3 bulan di laut.
Untuk itu pertama yang dilakukan Dayat dan teman-temannya adalah trauma healing, mereka menghibur para pengungsi untuk mengurangi beban yang mereka alami selama mereka dalam pelarian.
“Selain program trauma healing kami juga mengadakan program sekolah ceria untuk memberikan pendidikan kepada mereka. Adapun pendidikan yang kami berikan adalah mempelajari alpabet, menghitung, bahasa Indonesia, dan pengenalan mata uang Indonesia, ” kisah Dayat menceritakan aktivtasnya di Posko Pengungsian.
Setelah beberapa hari menjalankan program tersebut, Dayat merasa sangat bahagia, karena pengungsi tersebut dapat tersenyum kembali dan merasa nyaman seperti di rumah sendiri dan mereka menganggap para relawan seperti keluarga mereka juga.
Namun untuk sampai pada tahap yang menyenangkan itu, kata Dayat, tidak berlangsung mudah karena ada kendala dalam berkomunikasi yaitu bahasa. Mereka hanya mengetahui bahasa Myanmar sedangkan relawan tidak mengetahui bahasa mereka.
“Tetapi kami tidak menyerah, kami tetap berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh dan sedikit demi sedikit akhirnya mereka mulai mengetahui Bahasa Indonesia, sebaliknya para relawan pun mulai mengetahui bahasa Myammar. Kami saling belajar dan menjadi tambah akrab,” jelas Dayat.
Selain memberikan edukasi, lanjut mahasiswa yang fasih berbahasa Arab ini, relawan juga mendirikan Pos Hangat, sebagai tempat untuk duduk-duduk dan minum bersama layaknya warung kopi, bedanya, semua makanan dan minuman di posko ini gratis dan self service (pengunjung mengambil sendiri dan memamasak sendiri apa yang mereka inginkan), relawan bertugas hanya mendampingi dan mengajarkan menggunakan benda-benda di posko yang mereka tidak mengerti.
“Posko ini berhasil membuat para pengungsi Rohingya lebih dekat dengan kami, dan mereka melupakan semua beban yang dialami,” kisah Dayat kepada KBK, Rabu (27/5/2015) di Langsa.
Kini pengungsi Rohingya tidak lagi dalam kesendirian dan dengan jiwa yang rapuh, keberadaan relawan yang mendampingi mereka dengan penuh kasih sayang, menurut Dayat telah memberikan mereka harapan baru bahwa masih ada hari esok yang indah untuk dinikmati.