Memahami Hadis tentang Mayat Disiksa karena Tangisan Keluarga

Orang-orang menangisi kerabat mereka yang meninggal di rumah sakit di Kota Rafah di Jalur Gaza selatan, 26 Desember 2023. (Foto: Antara/Xinhua/Khaled Omar)

JAKARTA, KBKNews.id – Hadis merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Salah satu peran penting hadis adalah menjelaskan isi dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.

Karena kita tidak hidup di zaman Rasulullah dan tidak menyaksikan langsung sabda beliau, maka hadis yang kita pelajari sekarang hadir dalam bentuk teks. Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadis sering kali membutuhkan penjelasan para ulama agar tidak disalahartikan.

Mayat Disiksa karena Tangisan Keluarga

Ada sebagian orang yang melarang keluarga menangisi jenazah dengan alasan bahwa tangisan tersebut bisa menyebabkan si mayat disiksa dalam kubur. Pendapat ini merujuk pada hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Umar dari Umar RA dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Mayat itu akan disiksa di dalam kuburnya, lantaran ratapan yang ditujukan atasnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas tentu sahih derajatnya. Namun, benarkah hadis ini secara mutlak menyatakan bahwa mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya?

Imam An-Nawawi dalam penjelasannya menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai makna hadis ini. Diriwayatkan bahwa Aisyah RA menolak anggapan bahwa Rasulullah SAW bersabda demikian, karena bertentangan dengan firman Allah dalam surat An-Najm ayat 38:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ﴿٣٨﴾

“(Yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS An-Najm: 38)

Menurut Aisyah, bisa jadi hadis tersebut ditangkap secara tidak tepat karena lupa atau salah memahami konteksnya. Ia juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah mengatakan ada seorang wanita Yahudi yang disiksa karena ditangisi oleh keluarganya. Namun maksudnya adalah, wanita tersebut disiksa karena kekafirannya, bukan semata-mata karena tangisan keluarganya.

Pendapat Jumhur Ulama

Kemudian Imam Nawawi mengungkapkan pendapat jumhur ulama mengenai takwil hadis-hadis mengenai siksaan yang dialami mayat karena tangisan keluarganya sebagai berikut:

فتأولها الجمهور على من وصى بأن يبكى عليه ويناح بعد موته فنفذت وصيته ، فهذا يعذب ببكاء أهله عليه ونوحهم ؛ لأنه بسببه ومنسوب إليه . قالوا فأما من بكى عليه أهله وناحوا من غير وصية منه فلا يعذب لقول الله تعالى ولا تزر وازرة وزر أخرى قالوا : وكان من عادة العرب الوصية بذلك.[1]

“Mayoritas ulama menakwilkannya (hadis-hadis terkait mayat diazab karena tangisan keluarga), yaitu bagi orang yang berwasiat agar setelah matinya ia ditangisi dengan cara niyahah (meratap) lalu wasiat itu dijalankan oleh keluarganya. Hal inilah yang menjadi penyebab ia disiksa. Adapun jika keluarganya menangisi kematiannya dengan niyahah (ratapan) tanpa ada wasiat darinya agar berbuat demikian, maka mayat tersebut tidak disiksa karena sesuai firman Allah ‘Walaa taziru Waaziratun Wizra Ukhraa (eseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain’. (QS An-Najm: 38). Berwasiat agar dilakukan niyahah setelah kematian merupakan adat kebiasaan bangsa Arab di zaman jahiliyah.”

Melalui komentar Imam Nawawi mengenai hadis di atas, maka niyahah adalah menangisi mayat dengan cara meratap atau meraung-meraung. Hal ini jelas dilarang dan haram hukumnya.

Mayat disiksa di dalam kuburnya jika semasa hidupnya ia berwasiat agar ia ditangisi dengan cara niyahah saat kematiannya. Jika wasiatnya dijalankan, tentu ia disiksa karena mewasiatkan sesuatu yang haram.

Jika mayat ditangisi dengan cara niyahah oleh keluarganya secara spontan dan si mayat tidak pernah berwasiat agar kematiannya ditangisi dengan cara tersebut, maka tidak ada siksaan baginya.

Menangisi mayat karena bersedih dan dilakukan dengan cara sewajarnya adalah lumrah dan bukan merupakan sesuatu yang haram. Rasulullah SAW juga pernah menangisi jenazah Ibrahim, putra beliau yang meninggal di masa kecil.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut tidak boleh dipahami secara mentah-mentah. Pemahaman yang tepat dan merujuk pada penjelasan ulama sangat penting agar tidak keliru dalam menyikapi ajaran Islam, terutama yang berkaitan dengan kematian.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here