LANGSA – Kendala terbesar para dokter dan lembaga kemanusiaan yang ingin membantu manusia perahu yang terdampar di Aceh adalah persoalan bahasa. Ratusan pengungsi yang datang dari Rohingya dan Bangladesh itu tidak mengerti bahasa Indonesia, tidak paham bahasa Arab dan tidak tahu bahasa Inggris.
Akhirnya mereka dibantu dengan berdasarkan perasaan dan dugaan. Dokter memberikan terapi berdasarkan cek fisik tanpa mengetahui keluhan lainnya dan sudah berapa lama mengalaminya. Akhirnya bantuan yang diberikan menjadi tidak maksimal.
Tapi itu hanya pada awal-awal saja, selanjutnya dokter menemukan pasien bernama Muhammad Dul Hassan, warga Rohingya yang diselamatkan dari kapal di Kuala Langsa, ia pasien di Rumah Sakit Kuala Langsa.
Meski kondisi kesehatannya agak membaik, ia harus tetap berada di rumah sakit tersebut untuk menjadi asisten dokter. Ia menjadi penerjemah bagi pasien dari Rohingya atau Bangladesh, karena ia satu-satunya pasien yang bisa berbahasa Inggris.
Peran Hassan menjadi sangat penting, saking pentingnya dia kini mendapatkan tempat tidur khusus di rumah sakit tersebut.
“Setiap hari Hassan membantu di sini, hanya dia yang bisa berbahasa Inggris,” ujar Yahrini, kepala perawat di RS Kuala Langsa seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (21/5/2015).
Dalam setiap kunjungan dokter, remaja 17 tahun itu mendampingi dan menerjemahkan keluhan para pasien. Kebanyakan menderita penyakit pencernaan atau luka pada tubuh. Pekerjaan ini dilakoninya sejak mendarat di Aceh Jumat pekan lalu.
“Saya tidur di sini setiap malam dan membantu dokter menjelaskan keluhan,” kata Hassan.
Juru bicara RS Kuala Langsa, Arwinsyah, mengatakan saat ini ada 57 yang tengah dirawat karena berbagai penyakit. Salah satunya adalah remaja wanita berusia 15 tahun yang tengah hamil tujuh bulan.
“Dia mengatakan suaminya dibunuh,” kata Arwinsyah. Tidak diketahui apakah suaminya dibunuh di Myanmar atau di atas kapal.
Kemarin, balita Rohingya berusia tiga tahun bernama Shahera Habibi meninggal dunia akibat tetanus. Menurut Arwinsyah, saat baru tiba di RS pekan lalu kondisi Shahera sudah parah, kejang-kejang dan kaku.
“Dia dimakamkan di pemakaman rumah sakit,” ujar dia.
Selain menjadi penerjemah di rumah sakit, Hassan juga kerap dipakai kemampuannya untuk mendampingi relawan atau wartawan. Pasalnya, tanpa Hassan petugas bantuan hanya menggunakan bahasa isyarat karena hampir sebagian besar pengungsi tidak bisa bahasa Inggris atau Melayu.
Karena jasanya, Hassan mendapatkan sejumlah uang dari dokter dan para relawan. Uang ini digunakannya untuk membeli handphone. Setiap hari, digunakannya ponsel itu untuk menelepon ibunya yang masih berada di kamp pengungsi Nayapara di Bangladesh.
“Saat pertama kali menelepon ibu, beliau mengira saya sudah tewas, karena tiga bulan tidak beri kabar,” ujar anak kedua dari lima bersaudara ini.
Dia naik ke kapal pengungsi setelah diimingi akan bekerja di Malaysia. Selama tiga bulan di lautan, dia menyaksikan pembunuhan dan pertengkaran para pengungsi di kapal karena berebut makanan.
“Warga Bangladesh di kapal membunuhi kami karena kami dikira tidak memberi mereka air dan makanan. Karena kelaparan, mereka jadi gila,” ujar Hassan.
Hassan mengatakan bahwa saat ini ayahnya bekerja di sebuah rumah sakit di Arab Saudi. Ditanya apakah ia berharap tinggal, siswa kelas 9 ini mengaku manut pada keputusan pemerintah Indonesia.
“Jika saya diminta tinggal maka saya akan tinggal, jika tidak saya akan patuh,” kata dia. – CNN.