Musibah Pada Hari Penuh Berkah

0
302
KM Sinar Bangun tenggelam bersama sekitar 200 penumpangnya di D. Toba (18/6). Kapal tanpa manifest, kelebihan muat atau tidak layak laut, adalah persoalan klasik yang belum teratasi hingga kini. Musibah berikutnya tinggal tunggu waktu jika keamanan pelayaran terabaikan.

TIDAK diketahui jumlah korban yang pasti, kemungkinan sampai 200 orang akibat tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Daua Toba, di tengah suasana Idul Fitri 1349 H, Senin (18/6) malam, hanya 18 penumpang selamat, seorang ditemukan tewas dan sisanya kemungkinan terbawa badan kapal ke dasar danau.

Kapal nahas yang tanpa dilengkapi manisfest atau data penumpang dan barang yang diangkutnya itu lego dari Pelabuhan Simanindo di P. Samosir, Senin sore menuju Pelabuhan Tigaras, Simalungun dihantam gelombang tinggi di tengah cuaca buruk dan angin kencang setelah sekitar 30 menit berlayar.

Seorang penumpang yang selamat, Tony Susanto (30) warga Labuan Batu, Sumut kepada Kompas (20/6) menuturkan, penumpang sangat ketakutan mendengar derit tiang kapal, dan suasana makin mencekam akibat mendung hitam, angin kencang dan gelombang tinggi.

Semula ia bersama tujuh temannya mengaku ragu untuk ikut berlayar karena kapal dijejali puluhan sepeda motor dan barang sehingga penumpang yang berjejalan di buritan, dek, haluan hingga tangga kapal sulit untuk begerak, namun karena KM Sinar Bangun adalah kapal yang terakhir hari itu dari Pelabuhan Simanindo, akhirnya ia memaksakan diri naik. Enam rekan Tony belum ditemukan.

Tim SAR Gabungan beranggotakan 350 personil didukung kapal SAR dan tiga kapal lainnya, perahu karet dan jetski masih menyisir lokasi musibah dan belum menemukan korban selain 19 orang yang lompat dari kapal dan kemudian ditolong kapal pengangkut kayu KM Sinta Damai.

Karena ketiadaan manifest, perkiraan jumlah penumpang kapal didasarkan atas laporan warga kehilangan keluarga yakni 147 di Posko Pelabuhan Tigars dan 108 di Pelabuhan Simanindo, sehingga disimpulkan jumlah penumpang sekitar 200 orang.

Tim SAR yang menurunkan sejumlah penyelam di titik tenggelamnya kapal nahas itu belum menemukan bangkai kapal walau telah melakukan penyelaman sampai kedalaman 30 meter, karena dasar danau diperkirakan sampai kedalaman 500 meter sehingga menunggu datangnya alat yang dikendalikan secara remot (remotely controlled vehicle-ROV) dari Jakarta.

Musibah tenggelamnya kapal di D Toba antara lain terjadi pada 11 Mei 1997 yang menimpa kapal pengangkut hasil bumi, 100 meter dari Pelabuhan Parapat menewaskan tujuh orang, kemudian KM Peldatari tenggelam pada 14 Juli 1997 dengan korban 84 tewas, tabrakan antara Feri Tao Toba dan KM Yola pada 8 Sept. 2003 menyebabkan empat penumpang hilang serta tabrakan antara speed boat dan kapal kayu pada 2016 menyebabkan dua korban luka berat.

Selain di perairan D. Toba, BMKG mengimbau agar kegiatan pelayaran untuk arus balik mudik terutama di sekitar perairan Laut Jawa terus waspada mengingat gelombang pasang setinggi tiga meter diprakirakan masih melanda sekitar perairan antara Surabaya dan P. Masalembo dan antara Gresik – P. Bawean.

Musibah pelayaran di berbagai tempat di wilayah Indonesia sering terjadi akibat alasan klasik seperti kapal yang tidak layak laut, kelebihan beban penumpang atau barang serta tidak abainya operator terhadap aturan terkait keselamatan penumpang.

Jika tidak dibenahi dan diambil langkah serius, termasuk sanksi terhadap syahbandar dan nakhoda yang kongkalingkong meloloskan penumpang atau barang melebihi kapasitas kapal, musibah berikutnya tinggal menunggu waktu. (NS)

Advertisement div class="td-visible-desktop">