Kelanjutan industri pesawat terbang Indonesia yang terancam pasca krisis moneter pada 1997, bangkit lagi dengan rencana “roll out” atau memamerkan kepada publik, pembuatan pesawat komuter jarak sedang buatan anak negeri, N-219 (9/11/2015).
N-219 adalah jenis pesawat sayap tinggi bermesin ganda dengan kapasitas 19 kursi, dirancang oleh PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Pada 1997 putera-putera Indonesia berhasil merancang pesawat N-250.
PT DI dibawah lisensi perusahaan CASA, Spanyol juga pernah memproduksi pesawat sekelas N-219 yakni C-212. Pesawat N-219 memiliki sejumlah keunggulan yakni badan pesawat lebih ramping, mampu mendarat dan lepas landas di landasan pacu pendek (600 meter) berupa lapangan rumput atau tidak beraspal. Bobot N-219 lebih ringan, karena tidak memiliki pintu buritan (ramp-door). Disain teknologi yang digunakan juga lebih anyar, keluaran tahun 2000-an.
Seperti lazimnya industri pesawat terbang, tentu tidak seluruh komponen pesawat dibuat sendiri oleh PT DI . Namun demikian, selain mesin PT6-42A buatan Kanada, baling-baling buatan Harzel dan sistem avionik Gramin 1000 buatan Amrika Serikat, 40 dan 60 persen komponen akan dipasok oleh vendor lokal.
Setelah uji terbang dan memperoleh sertifikat dari Direktorat Kelaikan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub, N-219 akan dipasarkan pada 2017. Pada tahun pertama akan diproduksi enam unit, tahun berikutnya 10 unit dan mulai 2018 produksi akan ditingkatkan menjadi 18 unit pertahunnya.
Dengan kisaran harga antara lima sampai enam juta dolar AS per unit, N-219 diharapkan mampu bersaing dengan pesawat sekelasnya seperti Twin Otter buatan Kanada (sekitar tujuh juta dolar)
Disain N-219 disesuaikan dengan kondisi lapangan udara perintis dengan fasilitas terbatas di kawasan terpencil dan karena kondisi alamnya, sukar didarati jenis-jenis pesawat lainnya.
Yang ikut bergembira dengan rencana peluncuran pesawat N-219 tentunya Prof. Dipl.Ing. BJ Habibie yang dipanggil Presiden Suharto pada 1973 untuk mengembangkan industri pesawat terbang di Indonesia.
Habibie yang sebelumnya menuntut ilmu di Jerman, kemudian meniti karier di negeri itu sampai menempati posisi wakil presiden teknologi di industri pesawat Meserschmitt Boelkow Blohm (MBB) bermarkas di Hamburg.
Presiden ketiga RI pada 1998 – 1999 itu saat bekerja di MBB menciptakan Teori atau Faktor Habibie yakni penghitungan propagasi kepatahan secara acak (crack propagation on random) sampai ke tingkat atom pesawat terbang. Teori ini digunakan untuk menghitung kekelahan metal (metal fatigue) guna meningkatkan faktor keamanan konstruksi pesawat udara.
Indonesia – negara kepulauan terbesar di dunia yang bergelut dengan kemiskinan, rendahnya pendidikan dan tingginya angka kematian kelahiran bayi serta menggantungkan perekonomiannya pada pertanian tradisional – tidak diperhitungkan mampu mengawali “debut”-nya berkiprah dalam industri pesawat terbang.
Untuk mewujudkan impian bangsa Indonesia menjadi salah satu negara produsen pesawat terbang, sejumlah ancang-ancang dan kampanye dilakukan oleh Habibie, baik untuk menggalang kemitraan dengan pihak lain atau memperkuat basis di dalam negeri.
Di dalam negeri, dilakukan perombakan struktur industri pesawat terbang dari PT Nurtanio menjadi IPTN kemudian PT DI, dan mengirimkan ribuan sarjana teknologi ke manca negara untuk menimba ilmu kedirgantaran berkaitan dengan pembuatan pesawat terbang.
Habibie juga berupaya menggalang kemitraan dengan pihak asing, karena mustahil, Indonesia sebagai pendatang baru, bisa bekerja sendiri, apalagi industri pesawat melibatkan ratusan industri penunjang yang hampir seluruhnya belum hadir di negeri ini. Sejumlah kerjasama “off-sett” juga dilakukan dalam upaya bertahap untuk menguasai seluruh teknologi yang diperlukan.
Alasan memilih produksi pesawat terbang, menurut Habibie, karena tergolong industri mutakhir, sehingga dengan menguasai teknologinya, pengembangan industri lain yang berada di tingkat lebih moderat akan mudah dikuasai.
Tidak seluruh orang mendukung impian Habibie. Di dalam negeri muncul sikap pro kontra, baik dari mereka yang kritis tetapi memang logis, juga yang terkesan antipati. Yang logis, antara lain berpandangan, Indonesia sebagai negara agraris seharusnya fokus mengembangkan sektor pertanian yang menjadi unggulan. Mereka khawatir pembangunan pertanian akan terpinggirkan, jika anggaran yang terbatas, tersedot untuk membangun industri pesawat terbang yang padat teknologi.
“Kok pesawat cuma ditukar dengan ketan?”, demikian antara lain cibiran sejumlah media merefleksikan orang-orang yang anti. Padahal, apa salahnya?, jika Indonesia memang memerlukan impor beras ketan. Pesawat buatan kerjasama antara PT DI dan CASA (CN-235) yang dinamai “Tetuko”, kependekannya diplesetkan menjadi “Sing Tuku Ora Teko, Sing Teko Ora Tuku” (Yang Beli Tidak Datang, Yang Datang Tidak Beli), padahal, sejumlah negara ternyata juga membeli produk PT DI tersebut.
Selain untuk meraih devisa, Indonesia yang dipertautkan dari laut oleh rangkaian pulau-pulau – sebagian berada di wilayah terisolasi yang kondisi alamnya ekstrim – memerlukan layanan pesawat terbang, menggunakan alat angkut seperti N-219.
Industri pesawat terbang nasional maju terus berdampingan dengan pembangunan pertanian yang menjadi khittah Indonesia.