KEBERADAAN Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) akan ditentukan nasibnya oleh pemerintah yang akan memutuskan untuk menerima atau tidak revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang diajukan oleh DPR.
DPR sendiri, dalam sidang paripurna Januari lalu telah menyepakati revisi UU ASN menjadi RUU inisiatif yang pada tahapan selanjutnya harus dibahas lagi bersama pemerintah sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.
Sejauh ini seperti yang disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Asman Abnur (16/3), pemerintah baru akan menyiapkan jawaban, menerima atau tidak, atau menerima sebagian revisi UU ASN.
Hal itu dilakukan setelah ia mendapatkan mandat dari presiden untuk mewakili pemerintah dalam menyiapkan jawaban pada DPR.
Revisi UU ASN yang diajukan DPR memuat kewajiban pemerintah mengangkat seluruh tenaga honorer, pegawai tidak tetap dan pegawai tetap non-PNS serta tenaga kontrak menjadi PNS dalam tiga tahun setelah revisi RUU disahkan.
Pemerintah agaknya berhati-hati, mengingat pengangkatan pegawai secara besar-besaran, sangat berisiko karena kapasitas dan kompetensi mereka harus ditingkatkan dulu jika tidak ingin membebani keuangan negara dan menimbulkan persoalan baru.
Substansi lain yang dimuat dalam RUU revisi yang tidak kalah kontroversial adalah penghapusan KASN di tengah banyaknya penyimpangan terkait pengangkatan pegawai di seluruh pemda atau pemkot di Indonesia.
Masih segar dalam ingatan publik, saat Bupati Klaten Sri Hartini dicokok KPK awal Januari lalu karena dugaan keterlibatannya dalam praktek lelang jabatan terhadap ratusan pejabat, kepala sekolah dan staf di jajaran kabupaten yang dipimpinnya.
Lelang jabatan
Lelang jabatan Eselon III (kabid/Kabag) di lingkungan Kab. Klaten ditawarkan padakisaran Rp 50juta sampai Rp60 juta, kepala sekolah (Rp60 sampai sampai Rp100 juta), sedangkan mutasi sejajar di eselon sama (Rp30 sampai Rp50 juta).
Bisa dibayangkan, berapa uang yang diraup Sri Hartini dan antek-anteknya, mengingat di lingkup pemkab Klaten ada 850 pejabat yang akan dimutasikan secara massal.
Jika seluruh lowongan yang tersedia diisi oleh orang-orang yang cuma mampu “membeli” jabatan, mengabaikan kapasitas, kompetensi dan kinerja mereka, bisa dibayangkan “clean and good governance” macam apa yang dibangun.
Praktek jual-beli jabatan yang sudah berlangsung puluhan tahun tanpa gangguan, menurut Ketua Komisi Aparatur Siplil Negara (KASN) Sofian Effendi kemungkinan tidak hanya terjadi di Pemkab Klaten saja, tetapi juga di pemprov atau pemkot/pemkab lain di Indonesia.
Sofian berpendapat, tidak adanya transparansi dalam seleksi jabatan merupakan salah satu faktor penyebab maraknya praktek lego jabatan di tubuh pemda.
Tidak sampai separuh dari 605 instansi pemerintah (34 kementerian, 39 lembaga pemerintah non kementerian, 37 pemerintah propinsi, 78 lembaga nonstruktural dan 508 pemerintah kota/kabupaten) yang melakukan seleksi jabatan secara transparan.
Bisnis jual-beli jabatan di lingkungan berbagai institusi pemerintah, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Prof Dr Sudjito SH MSc, sangat menggiurkan. Selama 2016 saja omzetnya mencapai Rp35 triliun.
Sudjito menuding, iklim politik liberal dan ekonomi kapitalistik ikut mendorong orang untuk mengejar kekuasaan demi keuntungan ekonomi dan materi.
Dalam kondisi memprihatinkan semacam ini, muncul pertanyaan, apa yang ada di balik usulan DPR untuk memasukkan pembubaran KASN dalam revisi UU ASN?