ADA yang bilang, uang itu tak mengenal saudara. Maka tak mengherankan, seorang saudara dekat Cak Imin ketika diajak kampanye ke Bali demi memenangkan pasangan AMIN, yang ditanyakan pertama kali adalah: “Onok duwite gak?” Sambil tersenyum kecut Cak Imin menjelaskan, sebuah perjuangan itu nilainya lebih besar ketimbang uang recehan. Yang ngomong seperti itu bukan saja Cak Imin, setiap orang idealis akan mengatakan demikian. Tapi bagi orang materialis, uang seripis dua ripis itu lebih realistis. Bahasa populernya di masa Pemilu: Nomer Pira Wani Pira?
Nomer Pira Wani Pira sesungguhnya istilah plesetan dari akronim resmi NPWP yang berarti Nomer Pokok Wajib Pajak. Setiap orang berurusan dengan keuangan, akan selalu ditanyakan NPWP-nya. Bahkan kabarnya nanti NPWP akan disesuikan dengan NIK (Nomer Induk Kependudukan) dalam KTP, sehingga bisa lebih praktis.
Setiap menjelang Pemilu, istilah NPWP menjadi populer sekali. Sebab sudah bukan rahasia lagi, hampir semua Caleg baik DPRD maupun DPR tak bisa lepas dari urusan satu itu. Jer basuki mawa beya (untuk sebuah tujuan perlu biaya), kata pepatah Jawa. Dan sekarang, demi bisa melenggang ke Senayan maupun DPRD, nggak Jawa, nggak Sunda, nggak Batak, nggak Sasak; hampir semuanya melakukan. Sebab nanti jika sudah berhasil jadi anggota dewan, segala dana yang dikeluarkan akan segera BEP (balik modal).
Jika ditilik dari UU Pemilu, itu sudah termasuk money politic. Dari kaca mata agama lebih mengerikan lagi, itu sudah termasuk penyuapan. Padahal hadits Nabi juga mengatakan: laknatullah ‘ala rosyi walmurtasyi (laknat Allah atas mereka yang menyuap dan disuap). Adakah teringat para praktisi suap-menyuap itu ketika melakukan NPWP, ya nggaklah! Bagi penyuap: soal laknat Allah itu urusan nanti, yang penting bisa jadi anggota dewan dulu. Bagi yang terima suap, cuma uang receh saja masak nggak dimaklumi, Tuhan kan Maha Pengampun!
Bagi orang kecil yang kemiskinan jadi makanan sehari-hari, uang Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- memang berarti sekali. Setidaknya uang tersebut bisa nyambung umur barang sehari-dua hari. Orang kecil status sosialnya, kecil pula pemikirannya. Mereka tak peduli bahwa akibat uang recehan tersebut, bila salah pilih di bilik suara, bisa menyengsarakan nasib bangsa secara keseluruhan setidaknya 5-10 tahun ke depan.
Dan ini sudah merata di mana-mana. Siapapun Caleg dan Capresnya, yang penting seberapa uang yang dibagikan timses padanya. Bodo amat dengan jejak rekam mereka, yang penting dia bisa memberikan hari ini untuk nyambung umur. Prinsip mereka, siapapun yang menang tak akan mengubah nasib diri dan keluarganya. Mereka menyadari betul bahwa dirinya hanya dijadikan steger atau tangga untuk meraih kekuasaan. Habis itu si tangga atau steger akan ditendang dan dilupakan.
Meskipun uang bukanlah segalanya, tetapi orang memang tak bisa hidup tanpa uang. Maka kini banyak tokoh, bahkan ustadz menggadaikan keyakinannya demi setumpuk uang. Disebut setumpuk karena, uang yang mereka terima bukan uang recehan lagi, tapi ratusan juta bahkan miliaran. Sebab nilai mereka memang lebih tinggi, mereka punya massa dan massa itu diharapkan bisa digiring untuk berpihak pada Capres tertentu.
Belakangan ini ada ustadz muda nan ngetop, yang tampilannya mirip tukang pijet keliling karena selalu berkaca mata hitam dan bawa teken; banyak menjadi sorotan. Dia royal bagi uang ke mana-mana, meski dia sekedar sebagai perantara karena bukan uang sendiri. Tetapi karena mulutnya selalu memasarkan Capres tertentu, banyak pengagumnya menjadi jengah. Tapi dianya tak peduli bahkan membangga-banggakan dirinya sebagai ustadz kelas Istana.
Ustadz yang dipanggil ke Istana banyak Bung, bukan ente saja. Tapi yang lain tak sampai sebegitunya, mereka tetap tegak lurus menyuarakan kebenaran dan kedamaian. Jangan-jangan dapat janji jadi Menteri Agama, ngkali! Yang dikhawatirkan, jika Capres yang diagung-agungkan tersebut gagal ke Istana, ustadz si “tukang pijet keliling” itu akan dibuat malu secara telak. Dia bisa tak laku lagi di pasaran, tak ada yang manggil ceramah. Ingat, ajining dhiri saka obahing lathi (kehormatan diri berawal dari tutur katanya). – Cantrik Metaram.