Orang yang Pernah Dekati Ajal, Berubah

70 persen orang yang pernah mengalami hampir menemui ajal, berubah pemikirannya dan merasa takut akan kematian (ilustrasi @pixabay.com)

MAYORITAS (hampir 70 persen)  orang yang pernah mengalami pengalaman hampir menghadapi kematian (near-death eksperience – NDE) melaporkan perubahan pemikiran,  spiritual dan merasa ketakutan bakal kehilangan ajalnya.

Para peneliti di University of Virgini, Amerika Serikat  (UVA) seperti dilaporkan NY Post dan dikutip detik.com (16/10) mensurvei 167 orang yang mengaku pernah mengalami pengalaman menghadapi NDE.

Sekitar 15 persen pasien sakit parah yang pernah menghadapi NDE mengaku  merasakan sensasi luar biasa, seperti keluar dari tubuh, bertemu orang orang terkasih yang telah meninggal, melihat cahaya terang, merefleksikan kehidupannya secara singkat atau merasa dalam kedamaian.

“NDE saya cukup tinggi. Saya tahu, saya tidak akan pernah menjadi orang yang sama lagi, jadi refleksi dan kerja batin  berkelanjutan yang dibutuhkan setiap hari,” tulis salah satu peserta.

Peserta lainnya memanfaatkan kejadian NDE untuk mengevaluasi kembali hubungan pribadi mereka. Lebih dari 20 persen melaporkan perceraian atau putus cinta, dan bahkan lebih banyak lagi yang menghadapi tantangan atau keretakan hubungan.

Keterasingan dan kesepian juga merupakan hal yang berulang terjadi pada orang yang pernah mengalami NDE.

Pedang bermata dua

Seorang peserta survei menyebut NDE mereka sebagai ‘pedang bermata dua’. Itu adalah pengalaman yang sangat transformatif yang mereka simpan sendiri karena takut dihakimi.

Para peneliti mengatakan 64 persen peserta menghubungi profesional kesehatan mental, penasihat spiritual, atau komunitas daring dan sekitar 78 persen orang yang mengalami NDE merasa dukungan-dukungan tersebut sangat bermanfaat.

“Semakin intens NDE, maka semakin besar kemungkinan pasien berupaya mencari bantuan,” tulis para ahli.

Masalahnya, banyak yang kesulitan menemukan dukungan yang pantas. Suatu komunitas gereja mengungkapkan,  banyak orang yang mendiskusikan pengalaman mereka saat mendapatkan bantuan.

“Setelah beberapa kali mencoba, sejujurnya saya tidak cukup mampu untuk mengatasinya. Semua tanggapannya standar, tidak menginspirasi dan sangat mengecewakan,” tulis seorang peserta.
“Pengalaman saya menunjukkan, orang-orang di sekitar saya tidak memahami beratnya yang saya alami. Jadi, mugkin orang juga tidak akan peduli,” tulis peserta lain.

Untuk layanan lebih baik
Melalui penelitian yang dipublikasikan jurnal Psychology of Consciousness: Theory, Research, and Practice, para peneliti UVA berharap hal ini dapat membuka jalan bagi perawatan lebih baik bagi orang yang mengalami NDE.

“Penelitian tentang cara mendukung pasien-pasien ini dan kebutuhan spesifik mereka sejauh ini  masih terbatas,” kata Marieta Pehlivanova dari Departemen Psikiatri dan Ilmu Neurobehavioral UVA Health.

“Kami berharap dapat mulai mengatasi kesenjangan ini dan menginspirasi peneliti lain, terutama para ahli klinis, untuk mendedikasikan waktu dan perhatian guna  mencarikan solusi ” pungkasnya.

Pengalaman mendekati kematian adalah subjek yang selalu menarik yang menjembatani praktik medis modern dan filsafat Yunani kuno.

Para filsuf Yunani Heraclitus, Democritus, dan Plato berteori tentang orang-orang yang dikenal sebagai “revenant” yang konon telah meninggal dan hidup kembali.

Heraclitus merenung, secara enigmatis, bahwa revenant entah bagaimana ditunjuk untuk mengawasi yang hidup dan yang mati.

Karya Plato yang paling terkenal, The Republic , berpuncak pada kisah Er, seorang prajurit yang tampaknya terbunuh dalam pertempuran.

Namun, di pemakamannya, Er secara spontan hidup kembali dan menceritakan kisah tentang menjauh dari tubuhnya dan memasuki dunia akhirat yang kompleks.

Plato menganggap kisah-kisah seperti Er dengan serius karena menawarkan semacam jaminan kehidupan setelah kematian.

Demokritus, pendiri teori atom, juga tertarik pada kisah-kisah orang yang kembali dari kematian.

Atom dan kehampaan

Dalam tulisan-tulisannya, yang kini hanya tersisa dalam bentuk fragmen, Demokritus mencoba menjelaskan ‘kisah-kisah kembali dari kematian’ berdasarkan prinsip-prinsip penjelasan favoritnya—atom dan kehampaan.

Ia mencatat bahwa momen kematian itu sendiri tidak ada. Dengan kata lain, Demokritus berpendapat bahwa pengalaman mendekati kematian merupakan hasil dari proses penurunan fungsi tubuh secara bertahap sebelum kematian.

Jelaslah bahwa manusia telah mengetahui tentang

pengalaman mendekati kematian selama ribuan tahun. Pengalaman semacam itu pasti sangat jarang terjadi pada zaman kuno dan abad pertengahan, karena bertahan hidup dari cedera atau penyakit ekstrem jauh lebih jarang.

Ada laporan-laporan yang tersebar dari masa-masa tersebut, tetapi situasinya berubah drastis pada akhir abad ke-20.

Beberapa dekade terakhir abad ke-20 menyaksikan terobosan penting dalam teknologi dan prosedur resusitasi jantung paru.

Penggunaan teknik-teknik baru ini secara luas segera meningkatkan jumlah orang yang selamat dari kematian secara drastis.

Pada pertengahan 1970-an, begitu banyak individu yang mengalami pengalaman mendekati kematian sehingga fenomena ini pasti akan menarik perhatian publik.

Bukunya “Life after Life” (1975), yang menganalisis sekitar 150 kasus pengalaman mendekati kematian, tampaknya menjadi katalisator yang menyadarkan dunia modern akan fenomena kuno ini.

Bagi orang beriman, kematian adalah rahasia dan hak prerogatif Allah, sehingga bisa saja orang yang mengalami NDE mengait-ngaitkannya dengan berbagai kejadian berdasarkan asumsi, persepsi  atau perasaannya (NY Post/Detik.com/ns).

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here