AKSI teror terhadap sejumlah penyidik KPK dengan berbagai modus operandi belum pernah terungkap, terakhir kali menimpa Novel Baswedan yang wajahnya disiram asam sulfat (H2SO4) oleh dua pria berkendara sepeda motor.
Novel masih menjalani perawatan intensif di RS di Singapura dan dilaporkan fungsi kedua matanya sudah membaik karena tindakannya yang cepat dengan membasuh wajahnya yang terpapar zat kimia itu dengan air begitu kejadian itu menimpanya. Lagi pula cairan asam sulfat yang digunakan tidak terlalu pekat.
Novel dilarikan ke RS Mitra Keluarga, kemudian dipindahkan ke ke RS Jakarta Eye Centre akibat gangguan penglihatan setelah ia disiram air keras oleh dua pelaku berkendara roda dua sepulang shalat subuh di mesjid Al-Ihsan, dekat rumahnya di kawasan Kelapa gading, Jakarta Utara, Selasa pagi pukul 05.10 (11/4).
Penyidik KPK itu sebelumnya pernah diserang para pendukung tersangka korupsi konsesi lahan kelapa sawit, Bupati Buol Amran Batalipu dengan menabrakkan sepeda motornya higga ringsek (2012), dikriminalisasi pada kasus tersangka pencurian sarang burung walet dan saat menyidik Dirlantas Irjen Pol Joko Susilo dalam kasus simulasi SIM (2015) ditabrak hingga luka-luka.
Selain Novel, sejumlah ancaman, aksi kekerasan dan kriminalisasi terhadap penyidik KPK, lembaga anti rasuah yang dibentuk pada 2002 itu sudah kerap terjadi.
Ancaman bom terjadi saat KPK memeriksa Dewan Gubernur BI Aulia Pohan (2008), sedangkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar disambangi langsung oleh seorang pengusaha media yang memintanya untuk tidak melakukan proses hukum atas kasus tersebut (2009).
Kriminalisasi a.l. dilakukan terhadap pimpinan KPK Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah atas dugaan pemerasan (2009), Ketua KPK Abraham Samad terkait dugaan pemalsuan dokumen kependudukan (2015), sementara Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditersangkakan sebagai saksi palsu dalam kasus sengketa pilkada (2015).
Ancaman Pembunuhan
Ancaman pembunuhan dialami Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Deputi Penyidikan Ade Rahardja saat menangani perkara politisi Partai Demokrat M. Nazaruddin (2011). Tabrak lari dialami penyidik KPK Dwi Samayo (2011) dan Novel Baswedan yang sedang berkendara sepeda motor (2016).
Perlu dihargai, Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian yang langsung membantuk tim khusus yang akan diawasinya langsung untuk menyelidiki kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Namun mengingat pelaku teror terhadap jajaran KPK selama ini belum pernah tersingkap, desakan muncul bagi pembentukan tim independen gabungan beranggotakan unsur-unsur polri dan masyarakat.
“Negara tidak bisa sekedar berbasa-basi. Presiden selaku panglima tertinggi Polri dan TNI harus segera membantuk tim penyelidik independen untuk mengusut tuntas sosok di balik teror itu, “ kata mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas.
Intimidasi terhadap KPK tidak hanya berupa ancaman fisik, tetapi juga teror politik berupa upaya pelemahan berdalih “demi memperkuat” lembaga rasuah yang dirikan di penghujung 2002 itu yang dilakukan oleh sejumlah politisi DPR di bawah modus revisi (legislative review).
Hal itu terjadi, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM dan Profesor Tamu Melbourne Law School dan Faculty of Arts University of Melbourne Denny Indryana, akibat posisi KPK yang tidak diatur dalam konstitusi.
KPK, menurut Denny dalam tulisannya (Kompas 13/4) harus dikukuhkan menjadi organ konstitusi yakni lembaga negara yang kehadiran dan kewenangannya diatur dalam UUD 1945.
Paling tidak, 30 negara telah mengatur lembaga anti korupsi mereka di dalam konstitusi. Bahkan dari sembilan negara anggota ASEAN yang memiliki lembaga anti rasuah, hanya KPK yang belum diatur dalam konstitusi.
Relakah parlemen?
Pertanyaannya, rela kah parlemen menjadikan KPK semakin kuat untuk membasmi koruptor jika ada rekan-rekan sejawat atau aliansi politik mereka juga bagian dari praktek kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ?
Di pusaran kasus mega korupsi proyek pengadaan e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun saja, paling tidak 62 anggota DPR dari sembilan fraksi parpol diduga ikut menikmatinya.
Hasil Rapat Bamus pimpinan Ketua DPR Fahri Ali yang meminta Presiden Joko Widodo membatalkan pencekalan Ketua DPR Setya Novanto ke LN baru-baru ini merupakan salah satu contoh ambigu sikap DPR pada upaya pemberantasan korupsi.
Nama Setya Novanto juga termasuk yang disebut-sebut dalam mega proyek “banca’an” berjamaah yang seharusnya ditujukan untuk mewujudkan identitas tunggal bagi penduduk Indonesia.
Pakar Hukum Tata Negara Asep Iriawan, diamini oleh mantan Ketua DPR Marzuki Alie menilai, permintaan Bamus DPR kepada Jokowi salah alamat, mengingat kewenangan pencekalan ada di tangan KPK yang obyek hukumnya adalah orang, bukan lembaga.
“Novanto atas nama pribadi dapat menyampaikan sendiri keberatan atas pencekalannya kepada KPK, bukan diwakili oleh DPR sebagai lembaga, “ kata Asep.
Di tengah semakin marak dan mengguritanya kasus-kasus korupsi, kewaspadaan harus ditingkatkan, karena pihak-pihak yang menikmati uang haram hasil korupsi pasti akan melakukan perlawanan habis-habisan.
Dalam menghadapi perang melawan korupsi, KPK harus diperkuat, dan bersama segenap elemen bangsa dan negara, harus keluar sebagai pemenangnya.