Gedung berwarna putih itu terlihat kumuh. Baju-baju bergelantungan di atas tali tambang yang membentang di antara dua dinding. Sendal-sendal berserakan di depan pintu yang kondisinya hampir rusak. Di bagian belakang perkakas dapur diletakkan tak beraturan, sementara kloset kamar mandi nampak menguning tanda jarang dibersihkan.
Kita mungkin tidak menyangka, suasana kumuh itu berada di negara dengan pendapatan per kapitanya paling besar di dunia, Qatar. Terlbih penghuni bangunan itu hampir semuanya berwajah Asia Selatan, seperti Nepal, Bangladesh dan India. Mereka bukan pengungsi, bukan pula pencari suaka. Mereka adalah para pekerja yang tengah mempersiapkan infrastruktur perhelatan Piala Dunia 2022, even olahraga terakbar sejagat. Potret “miris” itu bisa kita saksikan dalam video yang dibuat oleh koresponden Kantor Berita Australia (ABC), Greg Wilesmith dan Eric Campbell.
Pengungkapan isu korupsi di tubuh federasi sepak bola dunia (FIFA) mengundang banyak pihak untuk menelisik rencana penyelenggaraan Piala Dunia 2018 di Rusia dan 2022. Isu ini juga mengantarkan pada kondisi ratusan pekerja yang banting tulang menyiapkan stadion dan aneka infrastruktur lainnya menjelang Piala Dunia 2022 di Qatar.
Qatar menggelontorkan dana USD 260 milyar untuk membangun stadion, sistem transportasi umum, jalan raya, hotel dan apartemen dalam menyambut gelaran empat tahunan itu. Mirisnya, pekerja asing yang sebagian besar dari Asia Selatan, dibayar hanya USD50 per minggu.
Mereka menjalani hari-hari di “asrama” kumuh dan tidak layak yang disiapkan kontraktor. Mereka bekerja di bawah sistem kontroversial yang disebut kafala, yang mengharuskan mereka untuk menyerahkan paspor mereka kepada “majikan” mereka.
Mantan presiden ACTU Sharan Burrow, sekarang kepala International Trade Union Confederation (ITUC), mengatakan sistem kafala itu sama saja dengan perbudakan.
Burrow, Mustafa Qadri – seorang peneliti Amnesty International yang berbasis di London – dan Jaimie Fuller – pengusaha Australia yang berbasis di Swiss, mengunjungi Qatar untuk menyelidiki kondisi kerja dan hidup buruh yang dipekerjakan pada proyek-proyek Piala Dunia.
Burrow menceritakan dengan detail bagaimana kondisi penginapan para pekerja itu. “Di sini dan Anda melihat ada sekitar 300 orang yang dibagi ke dalam 20 kamar,” ujarnya.
Saat melakukan kunjungan malam hari, Burro dan temannya menyaksikan para pekerja itu mencuci peralatan makanan yang baru saja mereka pakai. Makanan mereka dimasak sendiri dengan perlatan dan kompor gas kotor.
“Ini adalah area memasak, dan Anda dapat bayangkan 40 atau 50 orang di sini mencoba untuk menyiapkan makanan dalam kondisi yang benar-benar tidak aman. Dan itu kotor, sangat kotor. Kemelaratan yang luar biasa,” kata Burrow.
Seorang peker mengatakan kepada Burrow bahwa mereka harus bekerja selama enam hari seminggu, delapan jam sehari, paling sering dengan dua sampai empat jam ekstra lembur. Mereka juga mengatakn, rata-rata dibayar sekitar 600 riyal Qatar atau USD 215 per bulan, ditambah sekitar 200 riyal untuk makanan.
Sementara itu, rekan Burrow, Qodri dalam observasi dan wawancaranya yang dilakukan dengan sejumlah pekerja pembangunan stadion juga merasa heran. Menurutnya, apa yang dilihatnya tak ubahnya negara-negara dunia ketiga. Ia menceritakan bagaimana minimnya fasilitas sanitasi untuk para pekerja, demikian pula dengan aliran listrik yang sangat minim.
“Bandingkan dengan Doha, yang merupakan kota besar yang menakjubkan ini, dan di sini rasanya seperti Anda berada di dunia ketiga,” katanya.
Para pekerja itu juga mengaku kerap telat mendapat upah. “Apa yang mereka katakan adalah bahwa mereka tidak dibayar tepat waktu dan mereka tidak dibayar dengan cukup,” katanya.
Celakanya, jika mereka mengeluh dan protes bahwa upah mereka kurang dan telat, majikan mereka akan melaporkan ke pihak berwenang, dan mereka dianggap pekerja ilegal. Karena dokumen pribadi mereka seperti paspor ditahan majikan.
Tak ayal, suara-suara yang mendesak untuk meninjau kembali tempat perhelatan Piala Dunia 2018 dan 2022. Karena banyak yang tidak beres di belakang itu. ABC