PHNOM PENH—Empat orang pengungsi yang sebelumnya ditahan di Rumah Detensi Australia di Pulau Nauru, akhirnya tiba di Kamboja. Kedatangan empat pengungsi ini merupakan bagian dari kesepakatan kontroversial antara pemerintah Australia dengan Kamboja pada tahun lalu yang bernilai AUD 31 juta.
Keempat pengungsi itu terdiri dari tiga orang Iran dan satu orang Rohingya. Mereka telah mendapat status pengungsi dari UNHCR, namun bukannya berada di negara penerima, dalam hal ini Australia, mereka justru dilimpahkan ke Kamboja. Mereka tiba di Bandara Internasional Phnom Penh pada pukul 10.30 waktu setempat, dan kemudian langsung dibawa dengan mobil minivan untuk menghindari jepretan kamera awak media. Demikian dilaporkan Al Jazeera, Kamis (4/6/2015).
Letnan Jenderal Khieu Sopheak, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Kamboja, mengatakan, keempat pengungsi itu akan dipindahkan satu kawasan yang dikhususkan untuk para pengungsi di selatan Phnom Penh dengan akomodasi yang layak. “Kompleknya lebih dahsyat dari rumah saya”, kata Sopheak bercanda.
Sebelumnya, Australia dan Kamboja telah menandatangani kesepakatan “penempatan kembali” pengungsi dari Australia selama empat tahun. Salah satu butir kesepakatan itu, Australia akan memberi bantuan finansial kepada Kamboja senilai AUD 31 juta. PBB dan kelompok pembela HAM mengkritik kesepakatan ini dan mengatakan Australia tidak boleh melimpahkan pengungsi ke negara-negara lainnya.(baja juga: Saat Australi akan Pindahkan Pengungsi ke Kamboja)
Beda Perlakuan terhadap Montagnard
Perlakuan istimewa terhadap empat pengungsi limpahan Australia ini tak kalah mengundang kritik tajam terhadap Pemerintah Kamboja. Pasalnya, 97 pencari suaka dari Vietnam yang saat ini berada di Phnom Penh mendapati penolakan. Begitu juga dengan 13 orang dari kelompok minoritas di Vietnam, Montagnard, yang mencari perlindungan di Kamboja belum lama ini.
“Menyedihkan, saat empat orang pengungsi yang ditolak Australia mendapatkan pelayanan VIP, 97 Montagnard yang jauh lebih rentan tidak diterima, bahkan didata sekali pun,” kata Denise Coghlan, direktur Jesuit Refugee Service Kamboja.