Peringatan! Resistensi Antimikroba Bisa Sebabkan 10 Juta Kematian Setiap Tahun

0
209
Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)

PEKANBARU – Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pengawasan Obat dan NAPZA BPOM RI, Rita Endang, menyampaikan prediksi bahwa pada 2050, diperkirakan akan terjadi 10 juta kematian setiap tahun akibat resistensi antimikroba (AMR).

Rita Endang menjelaskan bahwa resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan.

Dalam keterangannya sebagai pembicara utama dalam sosialisasi pemberdayaan masyarakat mengenai resistensi antimikroba di Pekanbaru, Senin, Rita mengungkapkan bahwa hal ini membuat infeksi sulit diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, serta memperparah dan menyebabkan kematian.

Rita juga menyoroti potensi dampak AMR terhadap pendapatan negara, dengan perkiraan pengurangan sebesar 3,4 triliun dolar AS setiap tahun dan dapat mendorong 24 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada dekade berikutnya jika tidak dikendalikan.

Ia menekankan perlunya melibatkan Unit Pelayanan Teknis (UPT) BPOM di seluruh Indonesia dalam upaya masif dan berkelanjutan untuk menanggulangi permasalahan ini.

“Karena itu, perlu melibatkan UPT BPOM di seluruh Indonesia dalam berbagai upaya masif dan berkesinambungan untuk menanggulanginya,” kata Rita, dilansir dari Antara.

Berdasarkan hasil pemeriksaan sarana pelayanan Kefarmasian (2021 – 2023), pada tahun 2023, apotek yang menyerahkan antibiotika tanpa resep dokter mencapai 70,49 persen, mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2021 dan 2022.

“Jenis antibiotika yang paling banyak diserahkan tanpa resep dokter adalah Amoksisilin, Cefadroksil, dan Cefixime,” katanya.

Rita menyoroti peran penting tenaga kesehatan dan masyarakat dalam upaya pengendalian AMR.

Sementara Dewi Anggraini, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau, menekankan potensi resistensi antimikroba terjadi akibat konsumsi obat antibiotik yang tidak tepat penggunaannya oleh pasien, baik dengan resep dokter maupun tanpa resep dokter, seperti yang sering terjadi di Riau.

Dewi juga mencatat bahwa Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) masih menghadapi kendala, seperti kekurangan tenaga purna waktu dan masih ada dokter yang belum mematuhi pedoman penggunaan antibiotik serta tidak menjadikan penggunaan antibiotik sebagai budaya penghargaan atau risiko.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here