“Cita-cita luhur kemanusiaan untuk menegakkan keadilan bagi semua,
terutama mereka yang lemah, hanya mungkin diwujudkkan oleh negara yang
mampu melakukan revolusi dalam mendefinisikan pajak.”
Demikian poin penting yang disampaikan Rois Syuriah PBNU yang juga Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia, Masdar F. Masudi dalam salah satu sesi dialog di sela-sela acara Munas FOZ, Rabu (6/5/2015). Menurut Masdar, pajak semestinya jangan dianggap sebagai upeti (palak/dlaribah), maupun imbal jasa (jizyah), melainkan sebagai sedekah.
Sedekah, merupakan kewajiban moral-sosial untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi sesama. “Islam menyebutnya “Zakat” yang secara harfiyah berarti bersih dan berkembang bagi sesama,” ujarnya.
Masdar menggarisbawahi, revolusi pemaknaan yang dimaksud bukan pada tataran teknis, baik terkait tarif dan objeknya, melainkan pada makna dan konsep dasarnya, yaitu apa hakikat pajak dan untuk kepentingan siapa? Dengan revolusi pemaknaan pajak ini, maka: pertama, dari sudut rakyat pembayar (tax-payer), pajak akan dibayarkan dengan hati ikhlas sebagai kewajiban ilahiyat untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Kedua, “umpatan” yang selama ini menyertai setiap momen pembayaran pajak dan mebuatnya sebagai “uang panas dan kotor” akan digantikan dengan keikhlasan beribadah yang mengubah status uang pajak menjadi halal dan penuh berkah.
Ketiga, akan terjadi proses peralihan pada uang pajak yang dalam konsep upeti (dlaribah) atau imbal jasa (jizyah) merupakan uang penguasa, menjadi uang Allah untuk kepentingan segenap rakyat. Keempat, kehadiran nama Allah dalam pembayaran setiap rupiah dari uang pajak akan menggugah ketakwaan (bukan sekedar ketakutan) padanurani setiap aparat negara. Kelima, pajak sebagai panggilan iman dan kewajiban sosial, akan mengundang kesadaran segenap rakyat pembayar pajak (muzakki)maupun penerima (mustahik) untuk mengontrol jalannya pemerintahan. “Sehingga perilaku negara benar-benar sejalan dengan visi-misinya, sebagai instrumen penegak keadilandan kesejahteraan bagi rakyat,” jelasnya.
Selain itu negara yag menganut konsep pajak-zakat (soci-religious responsibility), korupsi didefinisikan lebih mendasar. Bukan sekedar sebagai penyelewengan uang negara di luar ketentuan formal anggaran. “Meski sesuai dengan angka dan alokasi anggaran, tetapi jika tidak memihak kepentingan masyarakat kecil, itu juga termasuk korupsi,” tukasnya.