JAKARTA – Hari Raya Iedul Fitri 1436 Hijriah sudah di depan mata. Kemenangan yang ditunggu-tunggu umat Muslim sedunia akan segera tiba sebentar lagi. Inilah hari yang sangat melegakan jiwa.
Berkumpul bersama keluarga dan handai taulan adalah salah satu kegiatan yang biasa dilakukan di Hari Raya Iedul Fitri. Sembari menikmati hidangan khas Melayu seperti ketupat rendang, dodol, dan wajik, umat Islam saling menyambung tali silaturahim.
Ada orang yang harus melewati perjuangan panjang agar bisa berkumpul bersama keluarganya di kampung halaman pada saat hari raya, dan ada juga yang bekerja keras membantu yang ingin mudik ke kampung agar mereka juga bisa menikmati momen setahun sekali ini.
Mereka adalah para penyedia jasa angkut tas atau barang bawaan alias porter. Pria-pria tangguh ini biasanya kita temui di stasiun-stasiun kereta api antar kota seperti Gambir, Pasar Senen, dan Jatinegara.
Di hari-hari menjelang Lebaran inilah biasanya mereka mendulang rezeki lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari biasa. Seperti yang dialami Lasdi salah satu porter yang biasa bekerja mengangkut barang calon penumpang di Stasiun Gambir.
Lasdi mengaku jika menjelang Iedul Fitri pendapatannya bisa meningkat meskipun tidak sampai berlipat-lipat. Dia rela bekerja sampai hari raya agar bisa pulang ke kampung halaman dengan membawa uang tambahan untuk keluarganya.
“Lumayan ada peningkatan,” kata Lasdi, Selasa (14/07/2015). “Kalau hari biasa saya bisa dapat penghasilan setara UMR Jakarta.”
Dia tidak memasang tarif untuk jasa sekali angkutnya. Semua tarif diserahkan kepada penumpang yang membutuhkannya. Namun biasanya dia menerima uang jasa sekitar 20-30 ribu untuk sekali angkut barang.
Lasdi mengaku baru setahun menjadi porter di stasiun Gambir. Sebelumnya dia bekerja sebagai asisten rumah tangga di kampung halamannya, Cepu, Jawa Tengah.
Penghasilannya sebagai tukang bersih-bersih rumah rupanya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga Lasdi. Di Cepu dia tinggal bersama anak, istri, dan kedua orangtuanya.
Dia menceritakan, awal mula bekerja sebagai porter karena diajak oleh temannya yang sudah menjadi mandor porter di Gambir. “Sama-sama orang Cepu juga. Pas dia mengajak bekerja menjadi porter, saya langsung ambil,” ujarnya.
Namun, ada pengorbanan yang harus ditempuh Lasdi untuk menjadi porter di Gambir. Jauh dari anak dan istri harus dia lewati, rasa rindupun harus dipendamnya dalam-dalam.
Lasdi harus rela bertemu dengan anak dan istrinya selama dua bulan sekali. Ini dilakukannya karena dia sadar biaya hidup di Ibu Kota Jakarta tidak murah. “Kalau biaya hidup di Cepu enggak sampai setengahnya di Jakarta. Ya, yang sabar-sabar aja, lah,” ujarnya.