NILAI tukar rupiah kembali di atas Rp 16.200 per dolar AS, Selasa pagi (16/7) pukul 09.40 WIB atau turu 0,22 persen dari Rp16.170 pada hari sebelumnya karena investor lebih memilih mencari aman, mengurangi investasi aset berisiko.
Dari AS, taruhan meningkat bahwa Donald Trump akan terpilih menjadi presiden pada pemilu AS November mendatang setelah penembakan oleh pemuda berusia 20 tahun saat ia berkampanye di Pennsylvania, Sabtu lalu (13/7) .
Menurut Bloomberg, penguatan dolar masih menhambat pergerakan mata uang di Asia. Hanya dolar Hong Kong yang menguat tipis 0,06% terhadap nilai tukar the greenback (dolar AS) pagi ini.
Nilai tukar rupiah anjlok dalam beberapa bulan terakhir ini di kisaran Rp 16.000 per dolar AS, membuat cemas alangan ekonomi dan publik. Sejumlah faktor, baik dari sisi global maupun domestik, berkontribusi terhadap pelemahan rupiah.
“Perkembangan harga apapun baik, inflasi ataupun nilai tukar, selalu dipengaruhi dua faktor utama, yaitu satu faktor fundamental yakni supply demand, kedua adalah berita,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Koran Tempo menyebutkan penyebab utama pelemahan nilai rupiah a.l. penguatan dollar AS dipicu kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Central AS (The Fed) AS terutama kenaikan suku bunga yang agresif dalam upaya mengendalikan inflasi.
Suku bunga lebih tinggi di AS membuat aset-aset berbasis dolar lebih menarik bagi investor global, menyebabkan aliran modal keluar dari pasar negara berkembang termasuk RI masuk ke AS. Akibatnya, permintaan terhadap Dolar AS naik, sementara rupiah tertekan.
Ketidakpastian ekonomi
Selain itu, ketidakpastian ekonomi global juga berperan pada pelemahan rupiah. Konflik geopolitik, terutama perang Rusia-Ukraina, telah mengganggu pasar energi dan pangan global, menyebabkan lonjakan harga komoditas.
Situasi tersebut menciptakan tekanan inflasi di banyak negara, termasuk Indonesia dan mengurangi daya tarik investasi di pasar negara berkembang.
Selain itu, kekhawatiran akan potensi resesi global membuat investor lebih berhati-hati dan cenderung memindahkan investasi mereka ke aset yang dianggap lebih aman seperti Dolar AS.
Di sisi domestik, defisit transaksi berjalan Indonesia mencakup perdagangan barang dan jasa, serta aliran pendapatan dari dan ke luar negeri juga menjadi faktor penyebab pelemahan Rupiah.
Saat defisit transaksi berjalan meningkat yang menunjukkan Indonesia mengimpor lebih banyak barang dan jasa daripada yang diekspor serta membayar lebih banyak devisa keluar dibandingkan yang diterima, menyebabkan tekanan tambahan pada rupiah karena kebutuhan pada mata uang asing juga naik..
Tingginya inflasi domestik juga menjadi faktor penting dalam melemahnya rupiah . Kenaikan harga barang dan jasa di dalam negeri mengurangi daya beli masyarakat dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, inflasi yang tinggi sering kali memaksa Bank Indonesia menyesuaikan kebijakan moneternya, termasuk menaikkan suku bunga acuan.
Meskipun kebijakan itu bertujuan untuk mengendalikan inflasi, peningkatan suku bunga juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi aliran investasi asing.
Bergantung impor
Indonesia sejauh ini juga masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan barang modal sehingga ketika harga barang impor naik atau saat nilai tukar rupiah melemah, biaya impor menjadi lebih mahal.
Hal tersebut tidak hanya berdampak pada perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor, tetapi juga pada harga barang jadi di pasar domestik, yang pada akhirnya berkontribusi pada inflasi dan pelemahan rupiah selanjutnya.
Pelemahan rupiah juga bisa diperparah oleh aliran modal keluar dari pasar finansial Indonesia. Investor asing cenderung menarik investasinya dari pasar negara berkembang ketika ada ketidakpastian ekonomi global atau ketika suku bunga di negara maju meningkat.
Aliran modal keluar ini menambah tekanan pada Rupiah karena menurunkan permintaan terhadap aset dalam mata uang rupiah dan meningkatkan permintaan terhadap mata uang asing.
Bank Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menstabilkan nilai tukar. Langkah-langkah tersebut meliputi intervensi di pasar valuta asing, peningkatan suku bunga acuan, dan kebijakan makroprudensial lainnya.
Pemerintah juga berupaya untuk memperkuat fundamental ekonomi dengan mengendalikan inflasi, memperbaiki defisit transaksi berjalan, dan meningkatkan daya saing ekspor.
Seperti bidang-bidang ekonomi lainnya, nilai tukar mata uang juga selalu mencari equilibrium baru. (Bloomberg, Koran Tempo/ns)