SEKOLAH di mana-mana semestinya adalah simbul peradaban, kecuali di negeri ini, acap kali menjadi markas geng untuk merancang tawuran atau bentuk kekerasan lain atau jadi ajang aksi perundungan (bullying) oleh siswa-siswi senior terhadap junior.
Yayasan Cahaya Guru mencatat, pada periode 1 Jan. – 10 Des. ’23 terjadi 139 kasus kekerasan di lingkup pendidikan dengan 134 pelaku, 19 korban meninggal dengan perincian 42 kasus perundungan, 40 kekerasan seksual dan 34 kasus kekerasan fisik.
Peristiwa teranyar yang viral di media dilakukan oleh kelompok siswa GT beranggotkan 40 orang dari sekolah unggulan SMA Binus, Serpong, Banten terhadap siswa sekolah yang sama pada 2 dan 13 Februari, diduga pelakunya sembilan pelajar senior.
Menurut ayah korban, anaknya (17 tahun) dipukuli, disundut rokok dan korek api, lalu diikat ke tiang di sebuah warung dekat sekolah mereka pada 2 Feb. lalu, kemudian diulang lagi pada 13 Feb. karena ketahuan korban mengadu pada kakaknya.
Korban dianiaya lagi di lokasi sama pada 13 Feb. sehingga mengalami luka memar dan luka bekas sundutan rokok di leher serta di tangan kiri.
Mendikbud Nadiem Makarim pada awal pengangkatannya sudah menyatakan, perundungan atau bullying adalah satu dari tiga dosa besar di lingkungan pendidikan selain pelecehan seksual dan intoleransi.
Namun agaknya, pernyataan menteri cuma sebatas slogan, tidak ada tindak lanjut atau aksi ke segenap jajaran kementeriannya serta koordinasi dengan pihak lain termasuk kepolisian, pemda dan dinas-dinas di daerah.
“Kasus yang dialami siswa Binus School di Serpong menunjukkan bahwa perundungan yang dinyatakan tiga dosa besar pendidikan oleh Mendikbud belum ditangani, “ ujar Ketua Komisi IX DPR Saiful Huda.
Sekjen Federasi Serikat Guru Independen Indonesia (FSGI) Heru Purwanto mendesak agar kemendkbudristek memperkuat sosialisasi dan implementasi permendikbudristek No. 46/2023 yang menjadi payung hukum penanganan kekerasan di sekolah.
Pemicu aksi bullying atau perundungan a.l. kesalahan pola asuh keluarga termasuk budaya kekerasan di rumah, pernah menjadi korban sehingga ingin membalas dendam sebagai pelampiasan, kurang perhatian dari ortu atau lingkungan, terobsesi ingin berkuasa, mencari perhatian di lingkungannya, kurangnya penanaman empati, agar diterima oleh kelompok atau pengaruh gim.
Tentu saja yang paling bertanggungjawab terkait perundungan dan kekerasan di lingkungan sekolah adalah mendikbud ristek beserta segenap jajarannya termasuk kanwil-kanwil, dinas-dinas dikbud dan pengelola satuan pendidikan (kepala sekolah dan guru).
Apa saja yang sudah mereka lakukan, yang mereka awasi, tidak hanya aksi-aksi kekerasan yang terus terjadi dan menelan korban, tetapi upaya pencegahannya.
Kekerasan di dunia pendidikan di negeri ini jika tidak ditangani serius tentu saja selain menciptakan trauma di kalangan korban, jumlah korban berjatuhan, juga sangat merusak citra Indonesia.
Ayo menteri dan otoritas pendidikan serta aparat penegak hukum, bergeraklah dan lakukan aksi !