PERANG Baratayuda Serentak tinggal 3 bulan lagi, tepatnya bulan Juni 2018 2014. Panitia sudah terbentuk, baik itu kubu Ngastina maupun kubu Pandawa. Sejumlah perusahaan yang menjadi sponsor, sudah mulai siap pasang panduk dan baliho di seputar alun-alun Tegal Kurusetra. Paranormal yang ahli bikin tahan bacokan juga siap mau buka stand. Bahkan pabrik air mineral dengan lantang edarkan minuman kemasan bertuliskan: Qamua, minuman resmi Perang Baratayuda Serentak.
Berbeda dengan Pandawa, kubu Ngastina justru pusing belum siapnya personal senapati yang akan maju ke medan laga. Anggota setgab koalisi macam Adipati Karno, Prabu Salyo, Prabu Baladewa, Resi Bisma dan Pendita Durna, memang kapan saja sudah siap mendukung terjadinya Perang Baratayuda. Tapi sebagai senapati elit, mereka diturunkan kan bila situasi sangat mendesak. Dalam kondisi normal, senapati yang maju cukup yang asli dari keluarga Kurawa seratus.
“Saya membutuhkan adinda Bogadenta. Tapi sejak isiden “Trajon” 20 tahun lalu, dia menghilang tanpa berita.” Keluh Prabu Duryudana.
“Wah kalau itu, terus terang saya ndak tahu.” Jawab Patih Sengkuni yang merasa tersindir.
Para pejabat elit yang hadir dalam pertemuan itu, semua memandang tajam pada patih Sengkuni. Baik Pendita Durna, Prabu Baladewa, dan siapa saja yang hadir di situ, semua tahu bahwa “Trajon” tersebut sebagai aktor intelektualnya tak lain tak bukan adalah Patih Sengkuni. Karena dialah yang punya gagasan kelewat berani, yang katanya demi ketahanan nasional negeri Ngastina di masa depan.
Kata Sengkuni kala itu, untuk menyelesaikan pertikaian Pendawa – Kurawa soal negeri Ngastina, cukup ditempuh dengan cara timbang badan. Siapa yang lebih berat secara pisik, dialah yang berhak memiliki negeri Ngastina secara permanen. Logika Patih Sengkuni: Kurawa yang berjumlah 100, masak kalah berat dengan Pendawa yang hanya berjumlah lima orang.
“Sebelum naik timbangan, semua harus nggembol batu,” imbau Sengkuni kala itu.
“Ini mau timbangan apa demo kenaikan upah buruh?” sergah wayang kritis.
Tapi teori Patih Sengkuni bukanlah hukum Archimides atau dalil Pytagoras yang pasti. Awalnya memang timbangan berat ke Ngastina karena kubu Pendawa yang bernama Bratasena belum hadir gara-gara terjebak macet. Tapi begitu dia datang dan meloncat ke dalam timbangan, situasi berobah drastis. Begitu kuatnya Bratasena anjlog ke dalam timbangan, mendadak sontak tatakan timbangan pada kubu Kurawa terlempar. Segenap isinya tumpah, Bogadenta, bahkan melenyap tak ketahuan di mana dia jatuh.
“Padahal dia punya pusaka andalan Gajah Murdaningkung yang sakti luar biasa.” Tambah Prabu Duryudana sambil melirik Patih Sengkuni.
“Denger tuh Di Cuni. Intinya, hilangnya Bogadenta kamu harus bertanggung jawab. Ini baru benar-benar Sengkuni ngibul……” Serang Pendita Durna blak-blakan.
“Kalau tak bisa menemukan kembali Bogadenta, pecat saja Patih Sengkuni. Gara-gara dia, Ngastina nyaris bubar sebelum tahun 2030.” Tambah Prabu Baladewa.
Namanya juga Sengkuni. Ada saja bahan untuk menangkis lawan. Tanpa tedeng aling-aling Sengkuni menuduh raja Mandura ini sebagai tokoh berkaki suka main dua kaki. Maksudnya, ya mendukung Ngastina, tapi juga mendukung Pandawa.
“Ke sana enak, ke sini juga enak,” sindir Patih Sengkuni.
“Apa kamu bilang? Saya tokoh main dua kaki? Awas kamu, saya juga tahu banyak dosa-dosamu di masa lalu, tak cari sampai ketemu, biar tahu rasa.” Ancam Baladewa sangat emosi.
“Sudah, sudah, jangan melebar ke mana-mana. Persoalan takkan selesai,” kata Prabu Duryudana kemudian, untuk menyapih situasi yang memanas.
Memang, meski sesama anggota setgab koalisi, Pendita Durna dan Prabu Baladewa tampak paling tidak suka pada Sengkuni. Soalnya, Haryo Suman ini suka disenting opinion dalam setiap program dan kebijakan Prabu Duryudana. Padahal mustinya, demi kejayaan dan keluhuran negeri Ngastina, apa saja program kerja Prabu Duryudana, anggota setgab harus mendukung tanpa reserve.
“Jadi intinya, anak Prabu Duryudana menodong saya untuk menemukan kembali Bogadenta, begitu?” Patih Sengkuni menegaskan.
“Ya kurang lebih begitulah. Sebagai anggota setgab harus punya dedikasi, jangan hanya mengejar komisi.”
Mestinya muka Patih Sengkuni njambu dersana (merah padam) karena malu oleh sindiran tajam Prabu Duryudana. Tapi dasar patih licik, dia tampak biasa saja. Nyomot pisang goreng snacknya sidang kerajaan juga jalan terus. Meski mimik para anggota setgab koalisi sudah muak akan dia, Sengkuni tetap saja tenang. Dan akhirnya patih Ngastina itu minta tempo seminggu untuk bisa menghadirkan Bogadenta. Bahkan dia menggaransi, jika seminggu calon senapati andalan itu gagal dihadirkan, dia siap direshufle dari kedudukan patih.
Sumpah Patih Sengkuni tersebut dicatat oleh segenap anggota koalisi yang hadir. Bukan meremehkan, tapi melihat perilaku Haryo Suman selama ini, apa yang dijanjikan pastilah hanya isapan jempol. Bagaimana mau melacak Bogadenta? Lewat internet, dia juga masih gagap soal itu. Jangankan internet, pakai HP saja masih Nokia 3310 yang tak bisa buat nge-WA.
“Kalau saya jadi Prabu Duryudana, langsung tak pecat itu Sengkuni.” Kata Prabu Baladewa saat ditanya pers.
“Lalu ditaruh jadi Kepala Perpustakaan. Yang jadi patih pengganti Aswatama anak saya,” tambah Pendita Durna tanpa malu-malu.
Seminggu telah berlalu, Bogadenta belum juga ditemukan oleh Patih Sengkuni. Tapi dalam sidang kerajaan, meski tak diundang masih juga berani menampakkan batang hidungnya. Ditanya para mitra koalisi kapan mau mundur, jawabnya masih juga berkelit: tak usah mundur, asal Prabu Duryudana mencopotnya, dia langsung tinggalkan Plasa Jenar. Mendengar jawaban seperti itu, lagi-lagi Baladewa bilang: dasar muka badak.
Sebetulnya Prabu Duryudana bisa saja langsung mendepak Sengkuni dari setgab koalisi. Namun sebagai raja yang berbudi bawa leksana, anggeganjar sepeda saben dina,rasanya tak tega memecat patih yang notabene paman sendiri. Maka sang prabu hanya berharap agar Patih Sengkuni tahu diri, langsung mundur dari posisinya.
“Sebagai anggota setgab sebaiknya kalian fokus pada pekerjaan masing-masing, tak usah pikirkan paman Sengkuni. Itu urusan saya….,” nasihat Prabu Duryudana.
“Dimas jadi raja terlalu sabar dan peragu sih.” Sindir prabu Baladewa.
Meski telah diimbau untuk tidak “mengintimidasi” Patih Sengkuni, Prabu Baladewa Cs selau setgab terus saja menyorot patih yang ndableg luar biasa ini. Seperti yang terjadi hari itu, ketika Prabu Duryudana hendak mengadakan sidang kerajaan, Patih Sengkuni kembali jadi bulan-bulanan..
“Katanya mau mundur, tetap nggak pergi-pergi. Dasar muka badak!” sindir Adipati Karno.
“Sebodo amat. Aku kan bekerja pada Prabu Duryudana, bukan pada sampeyan. Raja saja nggak apa-apa, kok sampeyan pada ribut?” tangkis Sengkuni.
Pertikaian terhentikan, karena Prabu Duryudana memasuki ruangan. Semua duduk membentuk lingkaran, hanya Sengkuni yang duduk di dekat saka guru, karena tak digubris oleh Prabu Duryudana. Menunggu ditundung (usir) barangkali.
“Saudara-saudara sekalian. Hari ini saya selaku mandataris raja Ngastina, akan mengeluarkan keputusan penting.” Kata Prabu Duryudana membuat para hadirin berdebar-debar dan menduga-duga.
“Pecat, patih Sengkuni bangsat.” Kata Durmagati di pojok sana.
Semua terbelalak, menengok ke arah Durmagati yang di belakang. Semua tahu Durmagati ini memang tidak suka pada Sengkuni. Caranya blak-blakan pula, tanpa basa-basi. Berani amat patih dikatakan bangsat, kayak politisi PDIP di Indonesia saja. Tapi karena memang begitu karakter Durmagati, Prabu Duryudana takkan mengusirnya. Itu hak imunitas seorang keluarga besar Kurawa.
“Saudara-saudara sekalian. Kami sudah mendapat informasi dari Bank Dunia bahwa Bogadenta kini berada di Turisari. Maka saya tugaskan Paman Sengkuni menjemputnya ke sana.” Kata Prabu Baladewa.
“Lho, Turisari kan nama kampung di Solo,” batin Adipati Karno. Tapi dia diam saja, mungkin ini cara Prabu Duryudana nguyak minggat (mengusir) Patih Sengkuni. Tempat tinggal terakhir Bogadenta memang di Turilaya, maka jika dicari di Turisari Solo, muter-muter sebulan juga tak bakalan ketemu. (Ki Guna Watoncarita)
