spot_img

Si Unyil Nyolong Jambu

SETELAH Orde Baru memimpin negeri ini, perekonomian mulai membaik. Murah sandang pangan, gampang mencari rejeki, mudah mencari kerja. Bahkan Indonesia pernah berswasembada beras. Jikalaupun di era reformasi sekarang kembali kita sering impor beras, itu tak selalu semata-mata keinginan pemerintah, tapi juga importir itu sendiri. Mereka tak peduli petani menjerit, yang penting perusahaannya bisa meraup duit.

Sebelum tahun 1970-an, kebanyakan orang kampung hanya punya sepeda ontel. Yang punya sepeda motor –disebutnya spedel– hanyalah Penilik Sekolah atau juga Pak Lurah (Kades). Sepeda motor Honda 1969, yang memiliki kebanyakan para Pak Kades . Mobil belum ada orang desa mampu membelinya. Karenanya jika ada orang kota bawa mobil ke kampung, anak-anak bergerombol mengagumi. Ada yang corat-coret membentuk tulisan, memanfaatkan debu yang menempel pada bodi mobil.

Wih, ambune seger ya.…” kata anak-anak ketika mencium bau bensin. Padahal bagi kebanyakan orang, bau besin itu bisa bikin mabuk. Tapi sejak tahun 1980-an, sepeda motor dan mobil sudah masuk desa, karena banyaknya perusahaan pembiayaan yang menawarkan mobil dan motor secara kredit. Para guru yang biasanya pakai sepeda Raleigh dan Humber, kini sudah mengendarai motor Honda, Suzuki, Yamaha dan Vespa.

Buah-buahan impor sebagaimana apel, juga sudah biasa dinikmati anak desa. Karenanya anak sekarang tak tertarik lagi blusukan cari buah gogrokan dari pohon, baik itu mangga, jambu maupun jeruk. Orangtua mereka sudah mampu membelikan buah-buah itu dari toko dengan kwalitas bagus. Maka tak mengherankan, anak sekarang bergeming saja melihat jambu, mangga berjatuhan di bawah pohon.

Tak hanya buah-buahan, makanan sisa tamu yang disebut undur-unduran, bocah sekarang tidak melirik. Padahal di awal-awal Orde Baru dulu, itu sangat ditunggu, dibuat rebutan dengan adik atau kakak yang lain. Begitu pula jika orangtua pergi bancakan di rumah orang, anak-anak selalu menunggu brekat yang dibawa pulang ayah-ayah mereka. Bahkan, ada lho yang tidak berani bermain jauh-jauh, karena khawatir nantinya tak kebagian berkat oleh-oleh ayah dari bancakan.

Masa kecil penulis sebelum tahun 1970-an, termasuk generasi yang tidak bahagia. Sebab masih merindukan buah jatuhan dari pohon. Bersama teman yang lain, pagi-pagi buta sudah blusukan di bawah pohon mangga, jambu, kedondong, mencari buah yang jatuh. Tanpa dicuci dulu, paling-paling digosokkan ke celana, langsung buah itu dibrakot atau dikremus tanpa khawatir akan sakit perut setelahnya. Dan nyatanya memang aman-aman saja.

Ini mengingatkan film boneka Si Unyil yang ditayangkan TVRI setiap hari Minggu di tahun 1980-an. Film produk PFN (Pusat Perfileman Nasional) itu disponsori oleh Sekneg pimpinan G. Dwipayana. Suasana film itu memang gambaran masa anak-anak di jaman itu untuk tingkat desa. Betapa hanya urusan jambu saja, bisa ribut antar anak-anak dan pemilik jambu.

Pak Raden (suara Drs. Suryadi) adalah tokoh kakek yang tidak sayang anak. Dia sama sekali tak rela bila kebon jambunya dimasuki anak-anak, hanya untuk memetiknya dan dimakan bersama-sama. Anak-anak nakal itu adalah Unyil, Usrok, Ucrit. Mereka sering ribut dengan Pak Raden, sementara Bu Raden istri Pak Raden selalu sabar meladeni anak-anak dan memberikan pengertian pada suami. Tapi tetap saja Pak Raden tak bersahabat dengan anak-anak usia 7-10 tahunan tersebut.

Hari-hari belakangan ini, Indonesia heboh soal Pilpres 2024 yang terasa tidak lazim. Capres Prabowo tindakannya mirip Si Unyil yang suka mencuri jambu Pak Raden bersama teman-teman. Gibran adalah buah jambu yang ranum itu, yang selama ini dimiliki PDIP. Si Unyil sudah berulangkali minta agar buah jambu Gibran itu bisa diminta untuk dijadikan Cawapresnya. Tapi Ketum PDIP tak pernah mengizinkan. Saking bernafsunya untuk bisa rujakan jambu Gibran, dengan mengesampingkan etika dan moral, jambu merah menawan itu langsung saja dicolongnya. Begitulah Si Unyil di abad ke-21. (Cantrik Metaram).

 

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles