DEMI penghematan, Bambang Sumantri menjemput Dewi Citrawati untuk dihaturkan kepada Prabu Harjuna Sasrabahu, cukup menggunakan bis pariwisata Green White saja. Rombongan pengiring dari Magada dan penjemput dari Maespati dibatasi, masing-masing cukup 10 orang. Istirahat makan malam dan ngopi menjelang pagi cukup di Sukamandi dan Kendal.
Yang menarik, Sokrasana sebagai pahlawan sesungguhnya malah tidak nampak dalam rombongan itu. Padahal tanpa jasa buta bajang macam dia, tak mungkin Bambang Sumantri berhasil memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati dengan begitu mudah. Cepat dan nyaris tanpa gejolak. Di sinilah mulai kelihatan aslinya Sumantri, dia tokoh kacang yang lupa sama kulitnya. Atau semuanya ini dianggap sekedar proses kacang atom belaka?
“Maaf Bambang Sumantri, saya mau tanya sedikit, boleh ya? Yang memenangkan sayembara kamu, tapi kenapa yang menikmati hasilnya malah Prabu Harjuna Sasrabahu?” tanya Dewi Citrawati saat istirahan makan malam di Sukamandi. Mreka makan satu meja.
“Bunyi kontraknya memang begitu, dan karena hurufnya kecil-kecil, saya jadi males membaca selengkapnya.” Jawab Bambang Sumantri jujur.
“Aku membuat syarat tambahan sebetulnya untuk menggagalkan Prabu Harjuna Sasrabahu memboyongku, tapi ternyata dia bisa berkat perjuanganmu.” Kata Dewi Citrawati jujur.
“Sebetulnya itu bukan hasil perjuanganku, tapi…….” Bambang Sumantri tak mampu melanjutkan kata-katanya, serasa ada onde-onde mengganjal di tenggorokan.
“Lalu hasil perjuangan siapa?” kalimat Dewi Citrawati berusaha mengejarnya.
Karena terpojok, Bambang Sumantri lalu berkelit dengan mengatakan hawa itu hasil perjuangan dan doa orangtua, ditambah karunia karunia Illahi. Dan ternyata, dengan alasan itu Dewi Citrawati bisa menerimanya. Legalah Bambang Sumantri, sebab dikejar pertanyaan kritis Dewi Citrawati rasanya seperti dikejar debt kolektor gara-gara cicilan kredit motor macet.
Rombongan tiba di Maespati bakda subuh, tapi Prabu Harjuna Sasrabahu baru siap menerima pukul 08:00 pagi. Aneh, apakah dia tidak penasaran segera kepengin ketemu bakal istrinya? Apalagi sang prabu masih bujangan. Atau jangan-jangan bujangan ting-ting hanya status belaka. Aslinya sudah tingkrang-tingkring ke mana-mana. Raja kaya raya lho, jika hanya boking cewek online Rp 80 juta semalam, itu mah keciiiil!
“Urusan nikah-menikah kan masalah pribadi, tapi kok protokoler banget sih,” keluh Tumenggung Bego Mangsah mantan panitia pelaksana pasang giri.
“Kalau yang nikah kelas kamu, memang bisa begitu. Ini kan raja, makan saja diperiksa menunya.” Penjelasan anggota rombongan yang lain.
Tapi sebelum tiba jadwal timbang terima Dewi Citrawati, Bambang Sumantri dipanggil secara khusus oleh Prabu Harjuna Sasrabahu. Dia ditanya, sudah siap jas baru belum, sebab hari berikutnya pelantikan patih baru Maespati. Kebetulan patih sebelumnya telah mengundurkan diri, karena mau fokus pada bisnis barunya. Di Maespati pejabat memang dilarang berbisnis, karena dikhawatirkan akan menyalah-gunakan jabatannnya.
Beda dengan negeri Magada, patih pun bisa bisnis kompor gas, dari yang 3 Kg mapun 12 Kg. Ketika Prabu Citradarma mengharuskan rakyatnya meninggalkan minyak tanah dan ganti pakai gas untuk masak, eh….patihnya yang jualan tabung gas. Ini kan jadi kebijakan koruptif, tapi Prabu Citradarma diam saja. Jangan-jangan beliaunya dapat fee. Yang jelas meski ki mahapatih sudah lengser, tapi kenaikan harga tabung gas 12 Kg sampai Rp 25.000,- sekarang mantan patih itu sangat menikmati.
“Kau menjadi patihku harus meniru mantan patih, menjauhi bisnis. Jangan sampai dipersoalkan LSM, malu kita.” Kata Prabu Harjuna Sasrabahu memberi wejangan..
“Siap, Boss. Nasihat sinuwun saya camkan baik-baik. Setelah jadi patih Maespati, perlu ganti nama nggak?” ujar Bambang Sumantri dengan wajah berbunga-bunga.
“Perlu dong. Nama barumu nanti bukan Wongsotaruna atau Pawirairanu, tapi Suwanda, artinya: su baik dan wanda adalah tampang. Kamu memang bertampang baik, kelakuanmu juga, kan?” sindir Prabu Harjuna Sasrabahu.
Bambang Sumantri tersipu-sipu. Mulai besok sudah akan menjadi patih Maespati definitip, gajinya gede dan plat mobil dinasnya M-2, sementara mobil pribadinya seri belakang menjadi RFS. Dulu ngelamar kerja di Astra motor Sunter saja ditolak, kini malah menjadi orang nomer dua di Maespati. Bener kata orang, bila sedang milik, rejeki takkan lari ke mana.
Demikianlah, hari-hari di Maespati terasa pendek. Hari Senin timbang terima Dewi Citrawati menjadi istri Prabu Harjuna Sasrabahu. Hari Selasa berikutnya Bambang Sumantri dilantik menjadi patih Maespati dengan nama Patih Suwanda. Selama beberapa hari ke depan pemerintahan Maespati diserahkan kepada Patih Suwanda, sementara Prabu Harjuna Sasrabahu masih fokus pada acara bulan madunya bersama Dewi Citrawati. Keduanya plesiran ke Honolulu, sekalian “mbelah duren” montong.
“Wahai patih Suwanda. Program kerjamu yang perdana adalah mengurus gejolak minyak goreng ya. Kenapa ketika harga murah, menghilang. Giliran harganya dilepas sesuai mekanisme pasar, melimpah ruah.” Pesan Prabu Harjuna Sasrabahu.
“Sendika dawuh, sinuwun. Segara akan saya tangkap dan umumkan nama mafianya,” janji Patih Suwanda.
“Jangan sok kamu. Nanti kalau gagal, namamu saya ganti lagi. Dari Suwanda menjadi M. Lutfi. Mau…..? ”
Patih Suwanda terpaksa nyengir kuda. Mengatasi mafia minyak goreng ternyata tidak mudah, sehingga akhirnya dia kopi paste statemen Bude Megawati saja. Intinya, jangan lagi rakyat Maespati migor minded. Makanan kan tidak harus serba gorengan. Singkong bisa direbus, atau dibikin kluwa (semacam kolak). Istirahat dulu bikin sayur oseng-oseng, ganti dengan jangan bobor, atau gudeg gori (nangka).
Jika masih harus pakai minyak goreng juga, coba kembali ke alam, bikin lenga jawa yang dibuat dari parutan kelapa. Setelah dibentuk kecil-kecil dijemur sampai beberapa hari. Setelah kering barus dipress, dan keluarlah minya gorengnya. Orang Jawa sering menyebutnya lenga klentik. Dengan cara ini, meski harga minyak goreng bermerk sampai Rp 100.000,- seliter, orang desa tetap bisa bikin peyek dan blanggreng. (Ki Guna Watoncarita)