
PRESIDEN Prabowo Subianto sendiri “turun tangan” mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) yang sudah mangkrak sejak 15 tahun lalu.
“Dalam upaya pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Saya mendukung,” janji Prabowo di hadapan 200-ribuan buruh pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day di kawasan Monas, Jakarta, Kamis (1/5).
Ia menegaskan, tidak boleh ada kompromi terhadap para koruptor yang tidak mau mengembalikan uang hasil kejahatannya.
“Enak aja, udah nyolong, enggak mau kembalikan aset. Gue tarik aja deh itu,” kata Prabowo disambut teriakan antusias para buruh.
Sementara bak gayung bersambut, Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendara juga menyatakan, pemerintah siap untuk membahas RUU PA bersama DPR.
Yusril mengatakan, pemerintah memandang bahwa perampasan aset hasil korupsi perlu diatur dengan undang-undang, agar hakim memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengambil keputusan.
“Kapan aset yang diduga sebagai hasil korupsi itu dapat disita dan kapan harus dirampas untuk negara, semua harus diatur dengan undang-undang agar tercipta keadilan dan kepastian hukum serta penghormatan terhadap HAM,” ujar Yusril.
UU tersebut, lanjutnya, juga penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.
Sikap DPR
Sebaliknya, Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyiratkan bahwa RUU PA belum akan dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah dalam waktu dekat.
Alasannya, RUU tersebut baru akan dibahas setelah DPR menyelesaikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut dia, revisi KUHP akan memuat mekanisme ketentuan perampasan aset hasil tindak pidana.
“Seluruh pidana intinya di KUHAP yang nantinya akan mengatur mekanisme perampasan aset ini,” ujar politikus Partai Golkar itu.
Adies juga menyebutkan bahwa langkah tersebut diperlukan agar mekanisme perampasan aset tidak dilakukan atas dasar penyalahgunaan kekuasaan.
Meski demikian, dia menegaskan, DPR sejalan terhadap iktikad Presiden Prabowo yang mendukung hadirnya RUU PA sehingga akan mendorong komisi terkait untuk tidak berlarut-larut dalam membahasnya.
“Kami prinsipnya setuju dengan Presiden untuk membahas RUU PA, makanya kami nanti akan berkoordinasi dengan Komisi III agar lebih sedikit agresif menyelesaikan RUU KUHAP,” kata dia.
Sedangkan Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menyatakan, dukungan Prabowo terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset semestinya diikuti oleh tindakan nyata.
“Presiden Prabowo berpidato terkait pemberantasan korupsi sudah yang kesekian kalinya. Jadi soal RUU PA, yang ditunggu adalah aksi nyata. Tidak boleh berhenti, sekedar omon-omon,” kata Zaenur .
Zaenur menyebutkan, aksi nyata tersebut berupa konsolidasi para parpol pendukung pemerintah agar mendorong pembahasan RUU PA di DPR, sehingga bisa segera disahkan.
Pasalnya, RUU Perampasan Aset saat ini memang sudah berada di DPR tetapi belum juga dilakukan pembahasan dengan pemerintah.
“Mereka semua (DPR) harus diarahkan mendukung pengesahan RUU PA karena sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas perampasan aset-aset hasil kejahatan termasuk korupsi,” kata Zaenur.
Kronologis pembahasan RUU PA
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pada rapat Badan Legislasi DPR pada 18 Nov. 2024 menyebutkan, pemerintah telah mengusulkan RUU PA untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.
RUU Perampasan Aset yang telah lama digulirkan ini menempati urutan kelima dalam daftar 40 usulan RUU yang diajukan oleh pemerintah.
Namun DPR tidak menjadikan RUU PA sebagai prioritas karena menilai, perlu waktu lebih banyak untuk mengkajinya secara mendalam terkait kecocokannya dengan sistem hukum dan politik nasional.
Perjalanan RUU PA sudah muncul pada 2008, ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mulai mengkaji kebutuhan perundang-undangan terkait perampasan aset dari hasil tindak pidana.
Kajian ini dilatarbelakangi oleh upaya pemberantasan korupsi dan tindak pidana lainnya di Indonesia yang membutuhkan instrumen hukum yang lebih efektif.
Setelah dikaji selama beberapa tahun, RUU PA Tindak Pidana (RUU PATP) , diajukan ke DPR RI secara resmi untuk dimasukkan dalam legislasi nasional pada 2012.
Meski demikian, pembahasan RUU ini tidak langsung berjalan mulus dan harus menghadapi berbagai kendala politik dan hukum.
Tidak serius?
Sejak diajukan pada 2012, RUU PA tak kunjung dibahas serius oleh DPR RI walau di beberapa kesempatan sempat muncul dalam diskusi, tidak ada kejelasan kapan akan dibahas, apalagi disahkan.
Situasi ini diperburuk dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan anggota DPR mengenai urgensi dan substansi RUU tersebut.
Pada 29 Maret 2023, RUU PA sempat disinggung oleh Menkopolhukam , Mahfud MD. Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, meminta Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto untuk mendukung pengesahannya.
Menanggapi permintaan itu, sejumlah anggota Komisi III DPR mendesak pemerintah untuk mengirimkan surat presiden (surpres), naskah akademik, dan draf RUU PA agar bisa dibahas di Baleg.
Pemerintah mengirim surpres terkait RUU PATP ke DPR RI pada 4 Mei 2023, namun hingga rapat paripurna terakhir DPR RI pada 30 September 2024, pembahasanya belum pernah dilakukan.
“Jangan disimpulkan bahwa DPR menolak RUU PA. Kita ini lagi konsolidasi, sedang mencari tahu mana undang-undang yang perlu,” kilah Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia saat itu.
Padahal, Ketua DPR RI periode 2019-2024, Puan Maharani dengan jelas mengatakan bahwa RUU PA akan menjadi pembahasan anggota dewan periode selanjutnya, yakni periode 2024-2029.
Nyatanya, sudah 17 tahun sejak dimunculkan PPATK pada 2008, pembahasan RU PA “jalan di tempat”, sementara praktek korupsi makin menggila dengan nilai sangat fantastis, melibatkan lembaga peradilan, bahkan oknum-oknum KPK!
Tunggu apa lagi, pembahasan dan pengesahan UU PA?