USULAN Hak Angket (HA) terhadap KPK akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR (28/4) di tengah semakin lunturnya kepercayaan publik atas komitmen para wakil rakyat dalam upaya pemberantasan korupsi.
Selain menuai kritik dari para pakar hukum, keputusan DPR itu juga dianggap sebagai aksi “bunuh diri” karena dikhawatirkan akan akan menjauhkan parpol dari konstituen mereka menjelang pilkada serentak (2018) dan pemilu (2019).
Usulan HA berawal dari pernyataan penyidik KPK dalam persidangan perkara korupsi e-KTP (31/3) yang menyebutkan, tersangka anggota Komisi V dari F- Partai Hanura, Miryam S Haryani ditekan oleh rekan-rekannya sekomisi di DPR di balik pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusunnya.
Miryam sebelumnya beralasan, ia mencabut BAP karena ditekan oleh penyidik KPK, namun berdasarkan hasil rekaman, penyidik menyatakan, Miryam mengaku ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR yakni Aziz Syamsuddin, Bambang Susatyo, Desmond Mahesa, Masinton Pasaribu dan Sarifudin Sudding.
Hasil rekaman itu lah yang diminta DPR untuk dibuka, namun KPK menolaknya dengan alasan, jika itu dilakukan, dapat menganggu jalannya proses peradilan.
Walau ditentang publik yang mempersepsikan HA sebagai upaya pelemahan KPK, DPR bergeming, tetap ngotot dan di tengah hujan interupsi, pimpinan Rapat Paripurna (28/4), sekaligus salah satu pengusulnya, Fahri Hamzah dari F-PKS mengetuk palu untuk mengesahkan HA.
HA diusulkan 26 anggota DPR (F-Partai Golkar/10, F- Partai Hanura/7, F-PDIP/2, F-Partai Nasdem/2 dan F-PKS, F-PPP, F-PAN, F-PKB dan F-Partai Gerindra masing-masing satu) pada Rapat Paripurna yang diikuti 283 dari 560 anggota DPR. Puluhan anggota DPR dari F-Partai Gerindra, F Partai Demokrat dan F-PKB melakukan walkout untuk mempotes keputusan Fahri Ali tersebut.
Menurut pasal 79 Ayat 3 UU No.17, 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) HA adalah hak DPR melakukan penyelidikan atas pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah terkait hal penting, strategis dan bedampak luas yang dianggap bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan.
Merugikan parpol
Peniliti politik LIPI, Syamsudin Haris menilai, parpol pendukung HA di DPR akan merugi karena publik mempersepsikan mereka “pasang badan” untuk melindungi para koruptor.
Ambigu parpol tampak, dimana hanya F-Partai Demokrat dan F-PKB yang pada Rapat Paripurna menolak HA, padahal sehari sebelumnya ada lima fraksi yakni dari Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB dan PKS.
Sikap mendua parpol juga ketara misalnya Fraksi Golkar, F-PPP dan F-PKB dan F-PDI yang semula menolak HA, namun membiarkan atau tidak mengenakan sanksi bagi anggotanya yang mendukung HA.
Materi HA diperluas mencakup tugas dan wewenang KPK seperti catatan laporan BPK mengenai sejumlah indikasi ketidakpatuhan KPK, bocornya dokumen proses hukum (a.l. BAP dan surat perintah peyidikan) serta disharmoni antara pimpinan KPK dengan penyidik dan penyelidiknya.
Keputusan DPR menggulirkan HA disorot tajam oleh berbagai pihak, a.l mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie yang berpendapat, KPK tidak perlu menuruti permintaan DPR yang termuat dalam HA jika melanggar kebebasan lembaga rasuah itu dalam proses hukum.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, alasan Komisi III DPR mengeluarkan HA tidak ada dasarnya, bahkan menunjukkan penyalahgunaan wewenang DPR, mengingat HA ditujukan untuk kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan sangat merugikan masyarakat.
“Tidak ada sanksi atau konsekuensi bagi KPK sebagai institusi penegak hukum jika tidak mau membuka rekaman kesaksian yang diminta DPR, “ kata mantan Ketua MK lainnya, Mahfud MD.
Menurut dia, HA adalah pernyataan pendapat DPR terhadap pemerintah atau pemakzulan terhadap presiden jika dinilai melakukan pelanggaran Undang Undang.
Genderang perang sudah ditabuh, rakyat tentunya berpihak pada lembaga yang memiliki komitmen kuat untuk menumpas habis praktek korupsi di negeri ini.