YANGON—Kelompok pembela Hak Asasi Manusia menentang beleid tentang pembetasan kelahiran anak yang baru saja disahkan Parlemen dan Pemerintah Myanmar. Menurut mereka, UU itu sarat diskriminasi terhadap kelompok minoritas Rohingya dan akan memperburuk ketegangan sektarian di Arakan. UU ini memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur kependudukannya, dan membatasi wanita memiliki anak dengan jarak tiga tahun.
“Undang-undang ini mengincar satu agama, satu populasi, di satu daerah,” ujar Khin Lay dari Triangle Women Support Group yang berbasis di Yangon, sebagaimana dimuat Al Jazeera, Selasa(26/5/2015).
Presiden Myanmar Thein Sein pekan lalu telah menandatangani RUU pengendalian populasi menjadi UU. Namun, media milik pemerintah baru mengumumkan pada hari Sabtu (23/5) lalu.
Undang-undang ini lahir karena tekanan dari kelompok ultra-nasionalis Buddha, yaitu Komite untuk Perlindungan Kebangsaan dan Agama, yang dikenal sebagai Ma Ba Tha.
Kelompok ini telah memicu sentimen anti-Muslim dengan mengatakan komunitas Muslim memiliki tingkat kelahiran yang tinggi dan mengancam negara mayoritas Buddha ini. Padahal, saat ini populasi mereka tidak lebih dari 10 persen.
Pemerintah membantah telah berlak diskriminanit terhadap Muslim. Menurut pemerintah, UU itu dibuat bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan anak dan ibu.
Sementara itu, pemerintahan Amerika juga berpendapat, UU memiliki potensi untuk memperburuk perpecahan rasial dan agama di negara ini. Washington dan PBB telah meminta Myanmar untuk mengatasi diskriminasi dan kekerasan terhadap Muslim etnis Rohingya.
Mereka mengatakan kebijakan pemerintah terhadap minoritas Rohingya adalah akar penyebab migrasi massal yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan di laut di Asia Tenggara.
Kelompok-kelompok lain juga telah menyatakan keprihatinan bahwa hukum lebih lanjut bisa memperburuk ketegangan di negara bagian Rakhine di mana kekerasan antara umat Buddha dan Muslim Rohingya pecah pada tahun 2012.
Sebagian besar Myanmar 1,1 juta Rohingya adalah stateless dan hidup dalam kondisi apartheid seperti.
“Dalam kasus Rakhine khusus, itu hanya akan menciptakan kesalahpahaman antara dua komunitas,” kata Nwe Zin Win, kepala kelompok hak-hak perempuan Pyi Gyi Khin