Awal Mula Wakaf Uang dan Hukumnya Menurut 4 Mazhab

0
233
Ilustrasi wakaf. (Foto: Ist)

JAKARTA – Praktik wakaf dalam Islam telah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Selain kisah wakaf yang dilakukan oleh Nabi, terdapat satu kisah wakaf yang sangat terkenal, yaitu wakaf tanah oleh Umar bin Khattab, sahabat Rasul. Meskipun begitu, pada masa tersebut, wakaf dalam bentuk uang belum dikenal.

Dari segi sejarah, berdasarkan jurnal SIMBI Kementerian Agama (Kemenag), wakaf uang belum pernah ada pada zaman Rasulullah SAW.

Wakaf uang baru muncul dan pertama kali diterapkan pada awal abad ke-2 Hijriah/9 Masehi oleh Imam az-Zuhri, seorang ulama terkemuka yang juga diakui sebagai pelopor Tadwin al-Hadis.

Pada masa tersebut, Imam az-Zuhri memberikan fatwa agar umat Islam mewakafkan dinar dan dirham untuk mendukung pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.

Sebelum itu, pada abad ke-8 Masehi, seorang ulama dari mazhab Hanafi, yakni Imam az-Zufar, telah mengemukakan gagasan mengenai wakaf uang.

Imam az-Zufar menyatakan bahwa wakaf uang seharusnya diinvestasikan melalui mudarabah, dan keuntungannya harus dialokasikan untuk al-a’maal alkhairiyyah, yang berarti digunakan sebagai bantuan sosial.

Berabad-abad kemudian, wakaf uang mulai familiar di Turki pada abad ke-15 Masehi. Praktik wakaf uang pada masa itu mengacu pada cash deposit atau penyetoran tunai ke lembaga-lembaga keuangan seperti bank.

Setelah disetor, wakaf uang diinvestasikan dalam kegiatan bisnis yang menghasilkan keuntungan. Keuntungan dari investasi tersebut digunakan untuk keperluan sosial dan keagamaan.

Di Turki, wakaf uang tidak hanya berupa investasi, tetapi juga digunakan sebagai pinjaman bagi yang membutuhkan. Pada masa kekuasaan Turki Usmani di abad ke-16 Masehi, aset atau uang tunai dari wakaf dikumpulkan dalam pooling fund.

Pooling fund ini kemudian dialokasikan ke sektor bisnis dalam bentuk pinjaman, yang dikelola oleh nazir yang ditunjuk pemerintah.

Setelah satu tahun, peminjam mengembalikan pinjaman pokok ditambah dengan return ekstra, dan return ekstra tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan sosial.

Perjalanan sejarah wakaf uang mencapai abad ke-20 Masehi, di mana berbagai ide muncul untuk menerapkan Ekonomi Islam.

Istilah-istilah terkait ekonomi Islam seperti bank syariah, asuransi syariah, pasar modal, lembaga zakat, lembaga wakaf, lembaga tabungan haji, dan sebagainya mulai muncul.

Pada tahap ini, praktisi Ekonomi Islam mulai menjadikan wakaf uang sebagai salah satu basis pembangunan ekonomi umat.

Hukum Wakaf Uang Menurut 4 Mazhab

Meski wakaf uang sudah menjadi hal yang lumrah dan terus dilakukan, namun hukum wakaf uang masih menjadi perdebatan dalam fikih empat mazhab. Ada pihak yang membolehkan wakaf uang dan ada pula yang tidak.

Mazhab yang membolehkan di antaranya adalah mazhab Hanafi dan mazhab Maliki. Sementara mazhab yang tidak memperbolehkan wakaf uang yakni mazhab Hambali dan mazhab Syafi’i. Berikut penjelasannya:

  • Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang dengan syarat bahwa hal tersebut sudah menjadi adat kebiasaan atau ‘urf di kalangan masyarakat.

Menurut mazhab ini, hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.

Pendapat ini berpegang pada hadis Nabi Muhammad SAW yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

“Apa yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah pun buruk.”

  • Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf uang (dengan dinar dan dirham) diperbolehkan. Penggunaan wakaf uang dalam hal ini dijelaskan pada Kitab al-Mudawwanah, yakni melalui cara pembentukan dana pinjaman.

Kaidahnya ialah uang tersebut diwakafkan dan digunakan sebagai pinjaman kepada pihak tertentu, di mana peminjam terikat untuk membayar pinjaman tersebut.

  • Mazhab Hambali

Ahli fikih, Ibnu Qudamah mengemukakan bahwa pada umumnya para fuqaha dan ahli ilmu tidak membolehkan wakaf uang. Karena, uang akan habis usai dibelanjakan dan wujudnya akan hilang.

Selain itu, uang juga tidak dapat disewakan karena menyewakan uang akan mengubah fungsi uang sebagai standar harga.

Meski begitu, ada sejumlah ulama yang membolehkan wakaf uang karena alasan nilai yang wakaf tetap terpelihara kekekalannya, walaupun zat atau bendanya telah hilang.

Dalam hal ini, mereka tidak menekankan pada bentuk fisik harta benda wakaf, namun lebih melihat kebermanfaatannya.

  • Mazhab Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat bahwa harta benda wakaf harus kekal sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i.

“Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi Muhammad SAW: ‘Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.’ Nabi Muhammad SAW berkata: ‘Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya pada sabilillah’.” (HR al-Nasa’i)

Berdasarkan hadis di atas, Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wakaf uang dalam bentuk dinar dan dirham tidak dibolehkan, karena dinar dan dirham akan lenyap dengan dibelanjakan dan sulit mengekalkan zatnya.

Namun, ulama lainnya, yakni Abu Tsaur, membolehkan wakaf uang. Ia juga meriwayatkan dari Syafi’i tentang bolehnya mewakafkan uang yang dalam hal ini adalah dinar dan dirham.

Namun, Imam al-Mawardi menolak pendapat ini dan mengatakan bahwa dinar dan dirham tidak dapat diwakafkan karena tidak dapat disewakan dan pemanfaatannya pun tidak tahan lama.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here