PRABU Pandu Dewanata karena belum berpengalaman, dalam memerintah selalu minta petunjuk prabu mantan Abiyasa. Hampir setiap hari WA-nan Gajahoya – Candi Saptoharga. Dan Prabu mantan selalu memberi petunjuk dengan sabar. Intinya perhatian pada wong cilik harus diutamakan. Karena prinsip seorang raja adalah selalu: paring sandang marang sing kawudan, paring teken marang kang kalunyon, dan paring boga marang kang kaluwen. Intinya, kebutuhan mendasar rakyat kecil harus diutamakan.
Sebulan setelah menjabat raja Ngastina, Prabu Pandu merasa perlu mengangkat Kepala Staf Istana (KSI). Untuk menghormati Haryo Suman yang masih lonthang-lanthung ikut Dewi Gendari, maka dipercayailah dia untuk menduduki posisi itu. Tentu saja Dewi Gendari ikut senang sekali, karena berarti rintisan karier untuk sang adik mulai terbuka lebar. Coba kalau Haryo Suman bukan ipar Destarastra, mana mungkin Prabu Pandu memberi kepercayaan sebesar itu.
“Kangmas Prabu Pandu, kok tiba-tiba aku diangkat jadi KSI Gajahoya, memangnya partai mana yang harus diambil alih?” kata Haryo Suman di luar nalar dan dugaan.
“Hai Dimas Suman, jangan terlalu jauh berfikir ke mana-mana. Nggak ada partai-partaian di sini. Buat apa ada partai, jika nanti kadernya malah menggerogoti uang negara saja. Kerja nggak becus, tapi program kementrian macem-macem, pesawat bekas nggak perlu mau dibeli juga….” Jawab Prabu Pandu to the point.
Haryo Suman terdiam, ternyata sistem pemerintahan di Ngastina tak seperti di negara sebelah ya. Karena bentuk republik, yang berkuasa mayoritas orang partai. Pejabat karier di pemerintahan tak bisa jadi bupati, walikota, gubernur sampai menteri. Semua dikuasai orang partai yang mayoritas tak bisa kerja, bisanya ngeruk APBN untuk membiayai partai induknya. Haryo Suman merasa salah duga. Karenanya sebagai orang baru di KSI Gajahoya, dia harus banyak belajar.
Menjadi KSI itu ternyata lumayan sibuk. Banyak tamu dalam dan luar negeri yang ingin ketemu Prabu Pandu, dari pimpinan negara sampai pengusaha. Dan itu semua yang mengatur jadwalnya KSI Haryo Suman. Ternyata ini menjadi sumber rejeki sampingan juga. Mereka yang ingin ketemu segera dengan raja Ngastina, diam-diam sua kasih uang tip barang Rp 250.000,- sampai Rp 500.000,- Bahkan kalau pengusaha, Rp 1 juta pun siap dikucurkan asal jadwal pertemuan dengan Prabu Pandu bisa dipercepat.
“Ini saya tidak janji lho ya, tetapi akan diusahakan.” Jawab KSI Haryo Suman.
“Ya, ya, saya ngerti.” Jawab pengusaha muda Bahlul Liang Lahad.
Setahun menjadi KSI Gajahoya, Haryo Suman banyak punya ceperan alias rejeki di luar gaji. Dari dana itu dia diam-diam bisa nyicil beli tanah di kampung Plasa Jenar, lalu bangun rumah dari batako hebel beratapkan baja ringan. Kini dia tak lagi tidur nyempil di kompleks Istana, tetapi sudah di rumah sendiri meski belum sempurna. Tetapi sebagai anak muda masih bujangan sudah punya mobil dan rumah, itu keren sekali……
Sedangkan Prabu Pandu, sebagai raja baru di Ngastina, dia terus banyak kerja, kerja, kerja….., termasuk tentu saja ngerjai dua istriya. Dua tahun memerintah lahir anak ke-3 dari Kunthi, diberi nama Permadi. Bayinya tampan, gemoy. Cuma dari Dewi Madrim istri kedua, meski sering “disetrom” tak juga kunjung hamil. Jangan-jangan Dewi Madrim ini satu rombongan dengan Lucinta Luna. Ibarat sepeda perempuan tetapi di tengah ada plantangan-nya.
“Gimana sih kakang embok caranya? Kita nikah bareng, tapi kakang embok Kunthi sudah berputra tiga, sedangkan saya satu pun belum diberi momongan.” Keluh Dewi Madrim kepada Dewi Kunthi.
“Yang sabar saja adinda Madrim, Gusti Sang Akarya Jagad, pada saatnya nanti pasti akan memberi juga. Kita sebagai titahnya di ngercapada hanya bisa berdoa menurut kepercayaan masing-masing,” jawab Dewi Kunthi standar sekali.
Prabu Pandu Dewanata ini memiliki hobi berburu. Bukan dengan senapan, tetapi pakai alat tradisional berupa panah lengkap dengan busurnya. Setiap Sabtu dan Minggu di mana tak ada kegiatan resmi di Istana, Prabu Pandu menyelinap dalam hutan tanpa pengawal. Bekalnya hanya sebotol Aqua gede, rokok Gudang Garam merah dan tentu saja slampek penghapus keringat.
Tapi sial benar hari itu. Dari pagi sampai bedug dhuhur tak ada satu pun hewan kemliwer (berkelebat) di belantara hutan. Macan, singa, kijang, celeng, babi ngepet, banteng tak ada kelihatan sama sekali. Jangan-jangan mereka sedang dikerahkan di ara-ara amba untuk penggalangan dukungan demi Capres 02. Memangnya golongan sato kewan (hewan) punya hak pilih? Atau timsesnya saja yang sudah mata gelap demi memenangkan satu putaran.
Mendadak Prabu Pandu melihat kijang jantan – betina sedang bercengkerama di tepian telaga yang sunyai damai tenang. Indahnya bukan buatan, meski ini bukan telaga Sarangan. Padahal sepasang kijang itu sedang dilanda asmara, melampiaskan hasrat menjalankan kodrat. Tetapi Prabu Panduk tak peduli lagi. Nafsu berburunya mengalahkan sifat welas-asihnya pada sesama umat. Langsung saja busur dan panah disiapkan, dan jebrettttt…..kedua kijang itupun tumbang.
“Hai, Pandu, kok iseng amat kau! Kami tak ngganggu-gawe segala tingkah lakumu, kenapa kau panah juga. Awas pembalasan dewa nanti, kamu juga akan celaka ketika sedang “kumpul” dengan istrimu. Camkan itu….!” kata sepasang kijang teresebut dan kemudian musnah tanpa wujud.
“Maafkan aku yang sedang khilaf….” jawab Prabu Pandu penuh penyesalan.
Kijang sepasang yang dibunuh Prabu Pandu tersebut sesungguhnya penjelmaan Resi Kindama, dewa yang terkutuk dari kahyangan. Dia dewa pemimpin Petisi-100 yang tanpa henti mengkritisi Bethara Guru. Soalnya penguasa kahyangan itu terlalu memberikan posisi pada putranya, Bethara Kala, meski itu melanggar konstitusi Jonggring Salaka. Tapi nasi sudah menjadi bubur dan karma itu akan jatuh pada Prabu Pandu. (Ki Guna Watocarita)