BANJARAN SENGKUNI (14)

0
694
Destarastra mengusulkan, agar Wijakangka atau Bima jadi raja Ngastina, kan bisa diubah UU-nya di MK. Tapi jawab Begawan Abiyasa tegas, “Kita tidak punya Paman Usman di sana.”

YA memang, nasi yang sudah menjadi bubur tak bisa dibentuk jadi nasi lagi. Namun demikian bubur Menado enak sekali lho, apa lagi bibir Menado lebih enak lagi. Bagi yang suka tentunya. Yang jelas, Prabu Pandu sudah tak terlalu lagi memikirkan “kutukan” si Begawan Kindama tersebut. Yang teringat justru bibir ranum istrinya, Dewi Madrim yang sekian lama menjadi istrinya belum juga punya momongan. Padahal dari Dewi Kunthi sudah mendapatkan tiga anak.

Malam hari sepulang berburu, Prabu Pandu mendekati Dewi Madrim dalam rangka astra lungiyat sebagaimana layaknya suami istri. Tetapi karma itu begitu cepat datang. Baru saja selesai menjalankan “sunah rosul” mendadak Prabu Pandu meninggal mendadak di ranjang. Tentu saja Dewi Madrim panik luar biasa, sepanik Pak Lurah karena jago andalannya semakin ngedrop elektabilitasnya. Madrim menangis meraung-raung, karena tak menyangka secepat itu menyandang status janda.

“Tenang, tenang adinda Madrim, ini sudah menjadi ketentuan dewa Sang Akarya Jagad. Sebagai titah (umat), manusia hanya tinggal menjalani saja.  Kita semua nanti juga akan mengalami, dalam Islam disebut kulu nafsin dzaikatul maut (setiap yang hidup akan mati).” Kata Destarastra sangat menghibur dan menenangkan.

“Tetapi kok secepat itu kakangmas, kami belum punya momongan lagi.” Jawab Dewi Madrim sambil terus terisak-isak.

Destarastra memanggil KSI Haryo Suman di Plasa Jenar, termasuk juga istrinya, Dewi Gendari. Mereka pun berunding. Kematian Prabu Pandu harus segera diumumkan. Tetapi jika disebutkan yang terjadi sesungguhnya, sangatlah tidak etis. Masak disebut Prabu Pandu meninggal di atas perut. Itu bisa merusak citra negeri Ngastina. Maka KSI Haryo Suman segera diminta bikin rilis  atau siaran pers bahwa Prabu Pandu meninggal serangan jantung.

KSI Haryo Suman bingung juga. Wartawan sekarang kritis-kritis, jika bertanya suka macem-macem, kadang memancing. Mana mungkin pertanyaan pers hanya dijawab “biar masyarakat yang menilai”, memangnya KSI Haryo Suman kelasnya Samsul si belimbing sayur.  Dia harus punya alasan logis dan bisa diterima akal sehat, bukan akalnya para Timses yang sudah terima miliaran sehingga menghilangkan nalar dan logika.

“Bagaimana kangmas Destarastra, bila kita bikin alasan Prabu Pandu punya penyakit jantung tapi males minum Captopril…..?” tanya Haryo Suman.

“Nah, begitu juga nggak papa. Yang penting tidak merusak nama baik Prabu Pandu almarhum.” Jawab Destarastra sambil manggut-manggut tanda setuju.

“Nanti jika ada wartawan yang ngeyel, diamplopin saja Rp 500.000,- kan langsung diem.” Saran Dewi Gendari.

Dewi Gendari tidak tahu bahwa wartawan yang doyan amplop itu justru wartawan bodrex yang jumlahnya kagak kehitung. Mereka ini pura-pura tanya macem-macem, tapi tujuannya sekedar cari saweran. Tahun 2008 saat pemakaman Pak Harto di Astana Giribangun Gunung Lawu, pengusaha Aburizal Bakrie dikerubuti wartawan amplop. Tahu siapa mereka, langsung saja keluarkan dompet. Setelah dibagi-bagi selembar ratusan merah, mereka bubar dengan sendirinya.

Dan benar saja, setelah berita meninggalnya Prabu Pandu masuk TV dan berita onlin-onlinan, wartawan memenuhi istana Gajahoya. Wartawan resmi punya koran atau media onlinnya, bertanya yang wajar-wajar saja, misalkan akan dimakamkan di mana. Tapi yang wartawan bodrex tak puas dengan jawaban Prabu Pandu serangan jantung. Justru mereka mempersoalkan, apa saja kerja dokter kerajaan selama ini. Penyakit jantung kan bisa dideteksi lebih dini. KSI Haryo Suman sampai kuwalahan menjawabnya.

“Udah, dah…..ini ada amplop segepok dibagi rata ya….!” ujar KSI Haryo Suman di mana akhirnya pakai ilmunya Aburizal Bakrie juga.

“Terima kasih Oom  Haryo!” kata para wartawan bodrex itu  sambil berebut amplop dan langsung bubar masuk Warteg cari sarapan.

Demikianlah, setelah pemakaman Prabu Pandu di Sandiego Hills, Begawan Abiyasa sepulang pemakaman langsung bikin keputusan cepat siapa calon pengganti raja Ngastina tersebut. Karena tak ada tokoh lain, dalam kondisi darurat lalu diputuskanlah Destarastra menjadi raja Ngastina sampai putra Pandu dewasa. Tentu saja Destarastra kaget, sebab dia merasa tidak pantas atas kedudukan tersebut karena dirinya dalam kondisi tuna netra.

Bagi Dewi Gendari ini sebetulnya peluang yang sangat  menguntungkan, karena berarti dia otomatis akan menjadi Ibu Negara. Ke depan, jalan untuk menjadikan anak-anak Kurawa sebagai penguasa di Gajahoya semakin terbuka lebar. Benar kata motivator Mario Teguh yang telah meredup: kesempatan itu hanya datang sekali, sehingga harus segera diambil. Oleh karena itu dia selalu mendorong suaminya, agar mau menerima jabatan tersebut.

“Maaf rama Begawan Abiyasa, kan yang lebih berhak putra Pandu sendiri, misalnya Bima atau Wijakangka. Misalnya paugeran (aturan) tak mengizinkan, kan bisa diubah lewat MK.” Saran Destarastra.

“Itu kalau kita ini punya Paman Usman di MK. Kan nggak punya! Aku juga nggak rela cucuku Wijakangka atau Bima nanti diolok-olok rakyat sebagai belimbing sayur atau Samsul.” Jawab Begawan Abiyasa tegas, karena ingin tegak lurus pada konstitusi.

Jelas sekali keputusan Begawan Abiyasa ini sangat menguntungkan Dewi Gendari. Padahal KSI Haryo Suman gelisah luar biasa. Dia sudah takut bayangan dulu, bagaimana jika Prabu Destarastra harus pidato kenegaraan HUT Ngastina misalnya, tak urung dirinyalah yang ketiban sampur (ditunjuk) harus menyiapkan naskah pidato tersebut. Padahal terus terang, jaman sekolah SD di Gendara dulu, pelajaran mengarang Haryo Suman cuma dapat nilai 5.

“Kamu nggak usah panik Suman. Kan ada Tom Lembong, nanti kita bisa minta pidato contekan darinya.” Kata Dewi Gendari berbisik-bisik.

“Oo, begitu ya. Terima kasih Mbakyu Gendari.” Jawab Haryo Suman sambil tersenyum lebar.                                                                               (Ki Guna Watoncarita).

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here