BANJARAN SENGKUNI (15)

0
896
Kepada Prabu Destarastra Begawan Durna juga melapor, murid Kurawa-100 mayoritas bandel-bandel. Dursasono misalnya, disuruh tapa “pati geni” eh sambil ngajak pacar.

MESKI Prabu Pandu gugur di atas perut Dewi Madrim, tetapi berhasil meninggalkan wiji turun (benih) di perut istrinya. Dewi Madrim pun mengandung secara normal dalam perawatan Dewi Kunthi. Seminggu sekali dibawa ke puskesmas untuk menjalani pemeriksaan. Agar janin tumbuh sehat dan normal, selalu Dewi Madrim disarankan minum tablet asam folat, bukan asam sulfat sebagaimana saran Cawapres Samsul.

Ketika janin berusia 20 minggu, kandungan Dewi Madrim di-USG hasilnya bayi dalam kondisi kembar dan berkelamin lelaki semua. Dewi Madrim berbahagia dalam duka. Berbahagia karena berhasil memiliki keturunan, berduka karena saat persalinan nanti sang ayah Prabu Pandu sudah tak bisa lagi menyaksikan karena sudah pergi ke alam baka.

“Mau dikasih nama siapa nanti nama anakmu, Madrim.” Kata Prabu Destarastra.

“Azam dan Azim saja, kangmas Prabu.” Jawab Dewi Madrim.

“Husy…..jangan itu! Itu kan nama-nama Timur Tengah, sedangkan kita bangsa negeri Ngastina. Nggak usah ikut-ikutan, kita punya kepribadian bangsa. Kasih saja nanti anak kembar itu, yakni Pinten dan Tangsen.” Kata Prabu Destarastra.

Semua terdiam, seakan membenarkan ucapan Prabu Destarata. Warga masyarakat Ngastina memang sudah banyak yang berkiblat ke budaya Timur Tengah. Ibu-ibu yang biasanya berkebaya, kini kondangan pakai jilbab dan gamis. Begitu pula kaum lelakinya. Biasanya ke mesjid cukup sarung dan baju koko dan kopiah, kini banyak yang pakai jubah. Padahal biasanya dalam dunia wayang  yang pakai jubah hanyalah para begawan dan dewa Sanghyang Yamadipati.

Sesuai dengan petunjuk Prabu Destarastra, Dewi Madrim memantapkan diri untuk memberi nama sikembar sebagai Pinten dan Tangsen. Nantinya, begitu lahir ceprot sikembar akan didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Cuma disayangkan, teori tak selalu sesuai dengan kenyataan. Ketika hari persalinan tiba, terjadi pendarahaan hebat atas ibunda Dewi Madrim. Kedua bayi bisa diselamatkan, tetapi sang ibu meninggal alias seda konduran. Lagi-lagi kerajaan Ngastina berduka.

“Duh Gusti, musibah kok datang silih berganti. Belum setahun kepergain Prabu Pandu, kini Dewi Madrim istrinya menyusul dengan meninggalkan bayi kembar.” Kata Dewi Kunthi sambil menangis terisak-isak.

“Sabar, sabar, Kunthi. Ini sudah menjadi garis pepesthen (kepastian) dari Sang Akarya Jagad, manusia tinggal menjalani. Rawatlah kedua bayi itu dengan baik, anggap mereka ini anak kandungmu sendiri.” Pesan Prabu Destarastra.

Hari itu juga Dewi Madrim dimakamkan berdampingan dengan Prabu Pandu di Sandiego Hill. Bayi kembar Pinten-Tangsen setelah 3 hari dalam perawatan RS Mitra Keluarga Kaya, dibawa pulang ke Ngastina. Sebenarnya Prabu Salyo selaku pakde dari kedua bayi itu juga siap merawatnya, tetapi Prabu Destarastra melarangnya, sebab dia tahu Dewi Setyawati istri Prabu Salyo ini perempuan sosialita, sibuk dengan urusan ibu-ibu kaum berduit. Dikhawatirkan, nantinya Pinten-Tangsen hanya diserahkan ke baby siter.

Di tangan Dewi Kunthilah dijamin sikembar Pinten-Tangsen lebih terjamin. Dia akan merawat dengan sepenuh hati. Dan faktanya memang demikian. Untuk minumnya saja susu botol Bebelac yang mahal, tak pernah telat nimbang dan imunisasi. Pendek kata bayi kembar itu dipelihara bagaikan anak sendiri, bahkan dapat curahan kasih sayang berlebih ketimbang 3 anak kandungnya. Lagu ratapan anak tiri tak berlaku bagi Dewi Kunthi.

“Nanti setelah gede dibawa berguru ke Begawan Durna di Sokalima, ya. Biar anak-anakmu juga pinter seperti Kurawa-100.” Saran Prabu Destarastra lagi.

“Siap kangmas Prabu. Bayaran SPP-nya mahal nggak ya?” tanya Dewi Kunthi.

“Mahal sekalipun, harus mampu karena kita keluarga Istana. Biar ingsun nanti yang bayari, sebab ini untuk masa depan anak-anak kita….” jawab Prabu Destarastra, dan Dewi Kunthi tinggal menurut saja.

Sekian tahun kemudian Pinten – Tangsen telah menjadi anak usia 7 tahunan. Maka Prabu Destarastra memanggil Pendita Durna dari pertapan Kumbayana, agar menerima juga Pinten-Tangsen ini sebagaimana Kurawa-100 dan Bima, Wijakangka beserta  Permadi. Biasanya wali muridlah yang membawa peserta didik –begitu istilah sekarang– ke sekolah atau perguruan, tetapi karena ini keluarga Istana, Begawan Durna yang mengalah sowan ke Istana Gajahoya.

Ternyata Prabu Destarastra tak hanya mendaftarkan Pinten-Tangsen, tapi juga menanyakan kemajuan Kurawa-100 dalam pendidikan, termasuk juga Bima, Wijakangka dan Permadi. Maka dijawab dengan jujur bahwa anak-anak Pendawa selalu disiplin mengikuti wejangan dan petunjuk Begawan Durna. Cuma untuk anak-anak Kurawa-100, mereka ini banyak yang bandel, suka terlibat tawuran pelajar, bahkan merokok sembunyi-sembunyi. Sudah dinasihati, tetapi mereka ini selalu ngemlengke (menyepelekan).

“Dursasano misalnya, saya suruh tapa patigeni 7 hari 7 malam, eh ngajak pacar. Kalau model begini sih, sebulan juga betah.” Keluh Begawan Durna.

“Ya, ya, ingsun juga tahu dari cerita dalang Ki Anom Suroto dalam lakon “Wahyu Tohjali”. Yang sabar saja Paman Durna.” Jawab Prabu Destarastra sambil tersenyum.

Pada perguruan Sokalima Beragama ternyata, para murid tak sekedar diajari guna kawijayan (kesaktian) dan panah-memanah, tapi juga ilmu bertani. Pada sebuah lahan nan luas, Pendawa diperintahkan tanam jagung, sementara Kurawa-100 tanam singkong. Karena lahannya masih hutan perawan, para murid diperintahkan untuk membabatnya sendiri. Oleh anak-anak Pendawa, kayu hasil tebangan diserahkan ke pertapan, sedangkan oleh Kurawa-100 malah dijual buat minum-minum.

Ketika musim panen tiba, tanaman jagung Pendawa Lima berhasil panen dengan baik. Giliran tanaman singkong keluarga Kurawa-100 boleh dikatakan gagal total. Jangankan bisa panen, untuk tumbuh saja ngrekasa (susah) karena terdiri dari lahan gambut. Maklum, Kurawa-100 yang selalu hidup makmur dalam lingkaran Istana Gajahoya, tak pernah tahu apa itu ilmu pertanian.

“Jakapitana-Dursasono, tanam singkong saja nggak becus. Prabowo banget kalian ini.” Omel Begawan Durna.

“Apa itu tanam singkong? Kalau tinggal makan blanggreng atau balok, kami selalu siap, bapa begawan. Sorry ye, ha ha ha….” jawab Dursasono seenaknya.

Blanggreng adalah singkong goreng istilah Solo dan balok adalah singkong goreng dari Yogya. Beda nama, tetapi bentuk dan rasanya sama saja. Dimakan pagi hari sambil minum kopi, ditambah hujan deras di luaran, rasanya menjadi begitu nikmat. Mempur……

                                                                                                (Ki Guna Watoncarita)

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here