AKSI-aksi spontan penyelamatan demokrasi yang digelar civitas academica di sejumlah kota di Indonesia makin marak dan dikhawatirkan bakal terus bereskalasi dan meluas jika peyelenggara negara tidak bisa mengakomodasi tuntutan mereka.
Di bawah ragam nama seperti petisi, deklarasi, manifesto politik atau pernyataan sikap, komunitas kampus mulai dari guru besar, dosen, alumni dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi (PT) menyatakan keprihatinan dan kecemasan mereka pada situasi politik menjelang pemilu serentak 14 Feb. nanti.
Yang bergerak tak hanya civitas academica PT pemerintah, tetapi juga yang dikelola swasta termasuk PT Beragama dari wilayah Indonesia bagian barat sampai bagian timur.
Di P. Jawa, sebut saja a.l. UI, UGM, UIN Sunan Kalijaga dan UIN Syarf Hidayatullah, Universitas Ahmad Dahlan dan di luar Jawa a.l. Universitas Trunojoyo (Madura), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Hasannudin (Makasar) dan Universitas Khairun (Ternate).
Sampai hari ini, paling tidak, sudah 28 komunitas PT yang sudah menyampaikan pernyataan, belum lagi Forum Rektor Indonesia yang menyampaikan Deklarasi Pemilu Aman dan Damai (3/2) memuat penolakan terhadap berbagai bentuk provokasi yang dapat memecah belah dan mencederai demokrasi.
Sedangkan 24 rektor PT Katolik dalam pernyataannya menilai, saat ini telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan, KKN, penyimpangan hukum dari semangat reformasi dan konstitusi yang mengoyak-ngoyak nurani dan rasa keadilan.
Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta(UMY) Gunawan Budiyanto (3/2) dalam pernyataan sikapnya mengingatkan segenap penyelenggara negara kembali menjalankan etika dan prinsip konstitusi. “Situasi saat ini terasa makin jauh dari cita-cita kemerdekaan RI, “ ujarnya.
Kembali ke UUD 1945
Sementara itu, segenap civitas academica UMY (3/2) mendesak Presiden Jokowi kembali menjalankan kewajiban konstitusinya sebagai penyelenggara negara untuk mewujudkan Pemilu 2024 yang jurdil dan transparan.
Melihat kilas balik sejarah, ingat! jatuhnya rezim Orde Lama pasca peristiwa G30S/PKI pada 1966 setelah massa yang diawali gerakan mahasiswa (KAMI) diikuti pelajar (KAPPI) turun ke jalan, menyampaikan Tritura (Pembubaran PKI, Perombakan Kabinet dan Penurunan Harga).
Sebaliknya, gerakan komunitas kampus kali ini a.l dipicu kegerahan massa akibat maraknya praktek korupsi pasca disahkannya UU KPK pada 2019, lemahnya penegakan hukum dan berbagai anomali lainnya.
Khusus menjelang pemilu 2024, kekecewaan massa yang diwakili oleh komunitas kampus disebabkan dugaan penyalahgunaan wewenang, kecurangan dan pelanggaran etika serta makin maraknya praktek money politics demi meraih kekuasaan.
Semoga munculnya aksi-aksi komunitas kampus mampu menyadarkan para pemimpin dan politisi agar mereka tidak bermain api merusak demokrasi .