Beda data kemiskinan Bank Dunia dan BPS

Angka kemiskinan di Indonesia yang dirilis BPS yakni 8,7 persen atau 24,8 juta orang, sedangkan angka Bank Dunia 60,3 persen atau 171,8 juta orang akibat perbedaan metodologi dan tujuan peggunaannya. (ilustrasi: mnc media)

KEPALA BPS Amalia Adininggar Widyasanti membantah isu, pihaknya menurunkan garis kemiskinan yang jauh lebih rendah dari angka Bank Dunia demi menjaga citra  pemerintah.

“Kalau netizen menganggap BPS  menurunkan garis kemiskinan, sebenarnya tidak benar. Untuk itu, literasi statistik sangat dibutuhkan, “ Amalia dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI, Selasa (26/8) malam.

Amalia menilai, masyarakat antusias untuk ikut berbicara tentang data statistik, tetapi kadang-kadang cara membaca dan menerjemahkan datanya masih belum pas.

Menurut catatan, Macro Poverty Outlook yang dirilis Bank Dunia pada awal April 2025 menyebutkan, 60,3 persen penduduk Indonesia aau 171,8 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan.

Data Bank Dunia itu sontak mengundang perhatian karena sangat berbeda dari data BPS yang menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 hanya sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Namun menurut Amelia, perbedaan angka tersebut disebabkan beda standar garis kemikinan yang digunakan untuk tujuan berbeda.

BPS dalam laman resminya menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN) untuk menghitung garis kemiskinan nasional dengan  mempertimbangkan pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, baik makanan maupun non-makanan.

Komponen makanan didasarkan pada asupan minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, sedangkan komponen non-makanan meliputi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pendidikan, transportasi, dan kesehatan.

Data ini dikumpulkan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang dilakukan dua kali dalam setahun dan mencakup ratusan ribu rumah tangga di seluruh Indonesia.

Garis Kemiskinan Rp595.242

Per September 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan untuk penghasilan Rp 595.242 per kapita per bulan.

Mengingat konsumsi umumnya terjadi dalam skala rumah tangga, BPS juga menghitung garis kemiskinan rumah tangga berdasarkan jumlah anggota keluarga miskin rata-rata yang tercatat (4,71 orang).

Maka, garis kemiskinan rumah tangga nasional berada di angka sekitar Rp2.803.590 per bulan, dengan variasi antar provinsi sesuai perbedaan harga dan pola konsumsi lokal.

Di sisi lain, Bank Dunia mengukur kemiskinan berdasarkan standar internasional yang memungkinkan perbandingan antarnegara, menggunakan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) atau paritas daya beli, dengan menyesuaikan nilai mata uang berdasarkan daya beli riil.

Sementara menurut laman resmi Menpan RB, dalam revisi terbaru yang dirilis Juni 2025, Bank Dunia menaikkan tiga garis kemiskinan global. Untuk negara berpendapatan menengah ke atas seperti Indonesia, garis kemiskinan kini ditetapkan sebesar USD 8,30 PPP per hari atau sekitar Rp1.512.000 per kapita per bulan.

Dengan menggunakan standar ini, Bank Dunia mencatat  68,3 persen penduduk Indonesia di bawah garis kemiskinan. Angka cukup mengejutkan karena hampir tiga perempat populasi disebut miskin, padahal menurut data BPS hanya sekitar 8,5 persen.

Namun Bank Dunia menjelaskan, standar global yang dibuatnya memang tidak dimaksudkan untuk kebijakan domestik, melainkan sebagai alat pemantauan kemajuan pengentasan kemiskinan antar negara secara global.

Bank Dunia bahkan menyarankan agar pemerintah Indonesia tetap menggunakan garis kemiskinan nasional dari BPS dalam merancang dan menargetkan kebijakan bansos.

Menurut mereka, pengukuran yang dilakukan oleh BPS, termasuk penggunaan data Susenas, adalah metode yang paling relevan untuk konteks kebijakan dalam negeri.

Selain itu, posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas juga masih relatif baru dan berada di batas bawah.

GNI per kapita 2023 USD 4.870

Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun 2023 tercatat USD 4.870, hanya sedikit di atas ambang batas kategori upper-middle income country yang dimulai dari USD 4.516.

Dengan posisi tersebut, penerapan garis kemiskinan global dengan standar tinggi akan secara otomatis menghasilkan angka kemiskinan yang tinggi pula.

Perbedaan angka tersebut semestinya tidak dibaca sebagai konflik data, tetapi sebagai cermin dari dua perspektif yang saling melengkapi.

BPS memberi gambaran kondisi ekonomi riil masyarakat Indonesia dan cocok sebagai dasar kebijakan sosial. Sementara Bank Dunia menyajikan tolok ukur untuk memahami posisi Indonesia dalam konteks global.

Jadi, tidak ada yang salah, data Bank Dunia maupun BPS, tergantung tujuan pemanfaatan masing-masing data. (ns/tempo)

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here