Blokade Israel Sebabkan Kelaparan Massal dan Gizi Buruk di Gaza

Jalur Gaza porak poranda akibat blokade Israel. (Foto: Anadolu)

JAKARTA, KBKNews.id – Organisasi kemanusiaan MER-C mengungkapkan bahwa kondisi di Jalur Gaza semakin memburuk akibat blokade Israel yang berkepanjangan.

Dr. Osama Qudeih, dokter anak di Klinik Al Aqsa B, Gaza Selatan, menyebutkan bahwa mayoritas pasien yang datang adalah anak-anak yang menderita kekurangan gizi, mulai dari tahap awal hingga kondisi yang mengkhawatirkan.

Dari sekitar 200 pasien, 40 hingga 50 di antaranya mengalami malnutrisi serius, terutama anak-anak di bawah usia dua tahun yang sistem imunnya melemah.

“Hal itu disebabkan oleh kurangnya (defisiensi) berbagai ketersediaan jenis makanan,” katanya.

Ia mengatakan kelangkaan dan tidak adanya susu formula bayi di pasaran berdampak sangat signifikan.

“Beberapa gejala yang muncul antara lain adalah penurunan berat badan, di mana dalam banyak kasus dapat menjadi sangat berbahaya,” kata Osama.

Kementerian Kesehatan sebelumnya rutin mengirim suplemen gizi, namun stok kini menipis akibat meningkatnya kebutuhan dan terbatasnya pasokan. Di wilayah utara Gaza, kondisi kelaparan bahkan lebih parah.

Dr. Basel Al-Basyouni dari RS Indonesia menyebut masyarakat di sana menghadapi kelaparan hebat di tengah serangan Israel dan blokade yang menyebabkan lonjakan harga bahan pangan.

Selain serangan udara yang menyasar lembaga masyarakat, tempat tinggal warga sipil, dan gudang penyimpanan makanan, blokade yang terus berlanjut menyebabkan lonjakan harga bahan pangan yang drastis.

Dampak negatifnya bisa dirasakan oleh penduduk Gaza, khususnya para pencari nafkah.

“Sebagai pencari nafkah bagi keluarga, saya menghadapi kesulitan ekstrem dalam memenuhi kebutuhan makanan pokok anak-anak saya, karena kurangnya sumber pendapatan,” kata Basel.

“Bahkan, kalaupun saya mampu membeli kebutuhan mereka, saya merasa kesulitan berinteraksi dengan anak-anak saya, terutama anak-anak saya yang masih kecil, karena saya merasa tidak dapat menyediakan makanan yang cukup layak bagi mereka,” imbuhnya.

Keluarganya saat ini hanya mampu makan sekali sehari. Dr. Basel bahkan harus membagi sepotong roti kepada seluruh anggota keluarganya. Semua kebutuhan rumah tangga masyarakat, seperti persediaan bahan makanan dan makanan kaleng, telah habis.

Situasi tersebut menimbulkan banyak anak yang kekurangan gizi. Berat badan mereka mengalami penurunan antara 5 hingga 10 kilogram.

Sebagai dokter ortopedi yang banyak menangani korban serangan Israel, ia mengamati bahwa kekurangan gizi menyebabkan penyembuhan luka pasien menjadi sangat lambat atau bahkan gagal.

“Pasien-pasien ini membutuhkan nutrisi yang sehat dan makanan yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, dan gula. Dulu, luka-luka seperti itu dapat sembuh dalam waktu singkat, tetapi sekarang memerlukan waktu dua kali lipat atau lebih lama untuk pulih,” katanya.

Ia juga menyampaikan banyak pasien saat ini mengalami kulit pucat (pallor), kelemahan umum dan anemia, yang menyebar hampir ke seluruh pasien.

Sistem kekebalan tubuh yang lemah menyebabkan penyebaran infeksi dan epidemi makin sulit dicegah.

“Kami bahkan hampir tidak dapat menjalankan tugas kami secara menyeluruh akibat rasa lelah yang sudah akut,” ucap Basel.

Ia mengaku telah kehilangan sekitar 30 kilogram berat badan, dan rekan-rekannya mengalami kondisi yang sama karena kurangnya makanan, terutama daging.

“Keputusasaan dan rasa tidak ada harapan mulai menguasai kehidupan profesional kami, yang berdampak negatif, khususnya pada pasien yang sedang terluka, dan masyarakat pada umumnya,” tuturnya.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here