spot_img

Demi Bisa Berhaji, Pedagang Soto ini Nabung Selama 25 Tahun

JAKARTA (KBK) – Deretan gerobak pedagang kaki lima di bilangan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta Pusat siang itu terlihat menyepi, ditinggal pembelinya karena jam makan siang telah terlewati.

Diantara rapatnya barisan gerobak tersebut tampak Sanan (65) sedang membereskan lapak soto mie-nya. Dengan kopiah putih menempel di kepala Sanan mengatakan, menjadi pedagang kaki lima bukanlah hal yang mudah, terutama untuk bisa menggapai impian menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Terlebih kakek 5 cucu itu harus berdagang soto mie dibawah bayang-bayang pungutan liar, retribusi gelap dan razia satuan polisi pamong praja. Bukan tanpa alasan mengingat Sanan berdagang di kawasan segitiga emas Jakarta yang merupakan lahan basah bagi sejumlah oknum guna meraup keuntungan dan kepentingan.

“Belum lagi kalau ada pejabat yang mau datang ke daerah sini, semua pedagang pasti disuruh untuk tutup,” jelas Sanan kepada KBK, Senin (07/11/16).

Sanan berkisah, rasa ingin pergi berhaji mulai muncul dalam dirinya sejak ia menjadi pedagang soto mie di tahun 1975. Keinginan itu makin menggebu-gebu ketika memasuki awal tahun 90. Dengan niat kuat pria asal Pandeglang, Banten itu memantapkan hati untuk mendaftarkan diri berhaji di tahun 1990.

Rupiah dari keuntungan berjualan soto mulai ia tabung, namun niat mulyanya itu tak berjalan mulus. Satu tahun kemudian Sanan mendapati musibah, ia terkena razia hingga gerobak sotonya terangkut. Tak mau kehilangan mata pencaharian dengan terpaksa Sanan harus membongkar tabungannya guna menebus gerobak kesayangan.

“Saya lagi solat asar pas selesai grobak menghilang, ternyata dibawa kantip ke Cakung. Waktu itu saya tebus delapan belas ribu, dari Cakung saya jalan kaki sambil dorong gerobak ke Karet,” kenang Sanan.

 

Foto Aditya KBK
Foto Aditya KBK

 

Tak berhenti disitu, kendati kini Sanan sudah ada yang membekingi namun ia masih kerap terazia Satuan Polisi Pamong Prja (Satpol PP). Dikatakan Sanan, meja dan kursi merupakan sasaran utama aparat dalam melakukan penertiban. Sanan memilih tak menebusnya karena harga denda sama dengan harga kursi dan meja baru.

“Sekarang saya setiap hari mesti bayar Rp 15 ribu, tidak tahu uangnya buat apa. Ada yang suka menagih, katanya retribusi tapi nyatanya masih kena razia,” ungkap Sanan yang dalam per hari mampu menjual hingga 40 porsi soto mie dengan harga Rp 17 ribu per mangkok..

Mendekati tahun 2015 hati Sanan berdegup cepat. Impiannya selama 25 tahun ingin menunaikan ibadah haji segera terwujud dan ketika musim haji tiba akhirnya Sanan terbang ke tanah suci seorang diri karena sang istri Arheni (60) mengaku belum siap.

“Dibutuhkan niat kuat untuk menabung, godaan berjualan itu berat. Saya perbulan nabung sejuta hingga akhirnya bisa pergi haji,” jelas Sanan semringah.

Selama mengais rejeki di Jakarta Sanan tak memiliki tempat tinggal, sejak tahun 2004 ia bersama Arheni menempati mess Masjid Mahabatilah, Karet, Jakarta Pusat. Diluar kesibukannya sebagai pedagang soto Sanan juga dipercaya menjadi marbot Masjid.

Sebagai pedagang kecil kini harapan Sanan hanya satu, yakni bisa berdagang secara aman dan nyaman tanpa harus menyetorkan uang ke sejumlah pihak.

“Saya siap ditata. Dulu tahun 2010 saya sudah fotocopy KTP dan KK katanya mau didata untuk relokasi tetapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Harapan saya semoga pemimpin Jakarta kelak bisa memperhatikan rakyat kecil seperti saya,” ujar Sanan yang kini tengah harap-harap cemas karena lokasi berjualannya akan diubah menjadi jalan raya.

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles