Demokrasi kotak kosong

0
164
Mobilisasi kekuasaan dalam Pilkada serentak 2024 bisa memunculkan kotak kosong yang merusak demokrasi. ilustrasi: Tribune Banten

SUARA sumbang dilontarkan sejumlah pengamat terkait wacana kotak kosong tanpa kontestasi akibat “mobilisasi parpol” sehingga yang muncul cuma satu pasangan calon dicemaskan bakal mewarnai pilkada serentak yang akan digelar 27 November nanti.

“Ini penghinaan bagi massa pemilih karena mereka hanya diberikan pilihan kotak kosong dan satu calon sehingga tidak memiliki peluang untuk paling tidak memilih dua calon,”  kata Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Prof. Saiful Mujani dalam program ROSI di TV Kompas (8/8)

Saiful mengingatkan, demokrasi dalam pemilu maupun pilkada pada dasarnya adalah persaingan antarmanusia, bukan persaingan antara manusia dan kotak kosong. “Karena itu, pemilih di Jakarta bisa protes apabila Pilkada Jakarta 2024 mendatang hanya diikuti paslon) tunggal melawan kotak kosong, ” kata Saiful.

Menurut dia, bukan tak mungkin pemilih di Jakarta pada akhirnya lebih menentukan pilihanya pada kotak kosong ketimbang memilih paslon tunggal. “Ini yang dikhawatirkan dan juga dimungkinkan terjadi, “ tutur Saiful.

Indikasi ke arah tersebut makin kentara setelah Koalisi Indonesia Maju (KIM) sepakat mengusung mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam pilgub DKI Jakarta 2024 sehingga diprediksi ia bakal melawan kotak kosong.

Pasalnya,  tiga parpol (Nasdem, Partai Keadilan Sosial  (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang semula mendukung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang elektabilitasnya tertinggi mengindikasikan “balik badan”, kemungkinan bakal bergabung ke dalam KIM menjadi KIM Plus.

Persoalannya, tidak satu pun dari ketiga parpol tersebut dapat mengajukan paslon sendiri karena persyaratan ambang batas suara (minimal memiliki 22 kursi suara di DPRD).

KIM  sendiri adalah koalisi sembilan parpol yakni Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Gelora, Partai Garuda dan Partai Prima yang memenangkan paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumnig Raka dalam Pilpres 2024.

Nasdem berubah?

Dalam Pilkada DKI Jakarta, Nasdem yang “pagi-pagi” sudah menyatakan akan mengusung Anies Baswedan, kemungkinan akan membatalkannya,  sementara PKB menyatakan sedang mempertimbangkan tawaran untuk bergabung dalam KIM Plus.

“Jika tawaran tersebut kami terima, peluang munculnya pasangan calon tunggal di DKI Jakarta terbuka lebar. Kalau semua kompak ingin bersama (dalam KIM Plus-red), lawannya ya kotak kosong, “ kata Sekjen PKB Jazilul Fawaid.

Sementara pernyataan Bendahara Umum Nasdem Ahmad Sahroni yang menyebutkan, partainya belum tentu memberikan rekomendasi kepada Anies, menjadi indikasi terjadinya perubahan sikap politik partai tersebut.

Sedangkan PKS yang semula menyandingkan Anies dengan Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Sohibul Iman (cagub dan cawagub)  batal gegara “dead line” pada 4 Agustus terkait persyaratan yang diberikan PKS pada Anies untuk mencari mitra koalisi lain guna melengkapi ambang batas pencalonan yang diperlukan (empat kursi lagi) sudah terliwati.

Dalam persyaratan itu, Anies dibebaskan memilih sendiri cawagub pendampingnya, yang penting bisa mengajak parpol lain berkoalisi untuk menambah minimal empat kursi dari 18 kursi yang dimiliki PKS sekarang untuk mencapai ambang batas pencalonan yakni 22 kursi.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno yang menyebutkan wacana kotak kosong dalam Pilkada DK Jakarta mungkin saja terjadi jika Nasdem, PKB, dan PKS bergabung dengan KIM Plus.

PKB juga berubah arah

Perubahan yang sama juga terjadi di tubuh PKB yang sejak awal telah pasang badan mendukung Anies, namun belakangan ini berubah arah setelah PKS mengajukan Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Sohibul Iman menjadi calon pendamping Anies.

Sementara Kepala Dept. Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengatakan, skema kotak kosong dalam Pilkada mendatang tidak menunjukkan demokrasi yang sehat.

Ia mengingatkan, esensi dari penyelenggaran pilkada adalah kompetisi antarkandidat sehingga skenario untuk mewujudkan calon tunggal pada pilkada adalah tindakan kebablasan.

“Jika ada skenario partai untuk mendesain pilkada melawan kotak kosong, saya kira itu sudah kebablasan dan tidak menunjukkan semangat untuk membangun demokrasi yang sehat,” kata Arya dalam konferensi pers di Kantor CSIS, Jakarta (8/8).

“Kalau tidak ada kompetisi tentu tidak menunjukkan praktik demokrasi yang baik,” ujar Arya, namun ia berpendapat , skenario kotak kosong pada Pilkada Jakarta dapat dilawan jika partai-partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) bersatu.

“Kalau kita lihat di Jakarta sebenarnya potensinya  head to head, dan itu bisa terjadi jika PKS, Nasdem, PKB, dan PDI-P bersatu,” kata Arya.

Menurut dia, peluang untuk mewujudkan koalisi penanding KIM Plus masih terbuka meski ada partai-partai yang memilih bergabung ke KIM Plus.

Kaderisasi parpol gagal    

Sementara pakar politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menilai kemunculan fenomena kotak kosong disebabkan oleh kegagalan kaderisasi parpol yang ingin menang dberkntestasi tanpa “berkeringat”

Ujang menilai kemunculan pasangan calon tunggal melawan kotak kosong akan memundurkan demokrasi karena tidak memberikan akses munculnya calon pemimpin terbaik.

“Anak-anak bangsa yang berprestasi dan bagus tak diberi kesempatan untuk bisa memimpin daerah karena calonnya cuma satu,” kata Ujang pada Temp.

Ia menduga ada praktik  money politics ketika memborong partai untuk mendapatkan tiket atau ‘perahu’ pencalonan. “Tidak ada yang ikhlas atau “makan siang gratis” dalam berpolitik.

“Jika di kontestasi pilkada ada dua kandidat atau lebih, money politics digelontorkan untuk pemilih, sebaliknya jika pilkada calonnya tunggal, dolarnya untuk dibagikan pada partai-partai,” kata Ujang.

Pakar hukum tata negara Feri Amsari juga ikut menyoroti fenomena kandidat calon kepala daerah memborong partai untuk memenangkan Pilkada 2024 yang merupakan praktek yang sudah berlangsung dalam Pilkada sebelumnya.

“Tentu saja sebagai fenomena, membuat demokrasi kita menjadi miskin, karena keterlibatan caleg kaya yang mampu memberikan mahar pada parpol membuat mereka tak terkalahkan,” kata Feri kepada Tempo.

Namun kata Feri, kehadiran kotak kosong bukan berarti pasangan tunggal tidak bisa dikalahkan.

“Di Makassar pernah kotak kosong malah memenangkan Pilkada, namun akibatnya, tidak ada kepala daerah definitif sehingga ujung-ujungnya ditunjuk oleh pemerintah pusat,” ujarnya.

“Kotak kosong bukan demokrasi konstitusional melalui proses pemilihan langsung, tetapi demokrasi rekayasa yang sejatinya adalah bancakan parpol dan kepentingan elite karena hanya  calon-calon kepala daerah kaya yang mampu melakukan segala cara  merekayasa kekuasaan,” katanya.

Jika pasangan calon tunggal dan kotak kosong bermunculan dalam Pilkada Serentak 2024 pada 27 November nanti, jangan harap, kepala daerah bakal dipimpin oleh kader kader terbaik bangsa.

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here