
KASUS kekerasan terhadap perempuan (KBGTP) menurut laporan Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada 2024 meningkat 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 445.502 kasus dibandingkan 401.975 kasus pada 2023.
Sementara menurut Komisioner Komnas Perempuan Alimaful Qibtiyah, angka kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) pada 2024 juga naik 14,17 persen menjadi 330.097 kasus dari 289.111 kasus.
Berdasarkan bentuk kekuasaan, data Komnas Perempuan dan data pelaporan menunjukkan dominasi paling banyak yakni kekerasan seksual dengan total 36,43 persen, disusul kekerasan psikis 26,94 persen dan kekrasan fisik 26,78 persen serta kekerasan ekonomi 9,85 persen.
Kekerasan paling banyak juga terjadi di ranah personal atau berarti dilakukan di ruang privat oleh orang yang memiliki hubungan dekat korban.
Sementara Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengemukakan, baik data dari Komnas Perempuan mau pun pelaporan di ranah personal didominasi oleh kekerasan terhadap isteri. Data Komnas Perempuan 672 kasus dan data pelaporan 5.950 kasus.
Yang membuat miris, kekerasan terhadap isteri (KTI) masih banyak dijumpai walau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah lebih dari 20 tahun diberlakukan. Selain, ada pula kekerasan dalam pacaran (KDP) dan kekerasan mantan ada
Yang juga mengejutkan, kekerasan di ranah publik yang meningkat drastis pada 2024 dengan 10.605 kasus. Kekekesan yang terjadi di tempat publik 4.627 kasus, diikuti di tempat kerja 2.060 kasus dan kekerasn berbasis gender online 845 kasus.
Kekerasan di ranah negara
Sementara kekerasan tehadap perempuan juga terjadi di ranah negara yani perempuan berkonflik dengan hukum, konflik terkait Sumber Daya Alam, agraria, dan tata ruag serta kebijakan yang diskriminatif . Total 95 kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
Untuk pelaku, terbanyak adalah anggota polisi (22 kasus), diikuti aparat pemerintah (17 kasus) dan TNI (tujuh kasus).
Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (PPHAM) meningkat menjadi sembilan kasus dibandingkan tahun sebelumnya.
Sedangkan Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy menyoroti tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia politik.
“Budaya patriarki dan diskriminasi berbasis gender masih menjadi hambatan bagi perempuan dalam politik. Mereka rentan menghadapi ancaman, intimidasi, serta kekerasan selama kontestasi politik,” jelas Olivia.
Ia menegaskan, diperlukan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender dalam setiap tahapan pemilu untuk memastikan partisipasi politik perempuan yang lebih aman dan setara.
Naiknya angka kekerasan terhadap perempuan di berbagai bidang kehidupan di tengah meningkatnya peradaban manusia di era now hendaknya jadi bahan kajian para pakar sosial dan kemasyrakatan, psikologi dan juga penegak hukum untuk dianalisis pemicunya.