JAKARTA, KBKNews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya biro perjalanan haji yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah namun tetap mampu memberangkatkan jemaah haji khusus pada 1445 Hijriah/2024 Masehi.
“Misalnya, travel (biro perjalanan haji, red.) ini tidak punya izin untuk penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK), tetapi ternyata bisa mendapatkan kuota haji khusus tersebut,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Menurut Budi, KPK kini sedang menyelidiki bagaimana biro yang tidak terdaftar tersebut bisa mendapatkan kuota haji.
“Apakah melakukan pembelian dari biro travel lain yang sudah terdaftar dan mendapatkan plotting (pembagian, red.) kuota haji khusus tersebut?” katanya, seperti dilaporkan Antara.
Dalam penyelidikan ini, KPK telah memanggil dan memeriksa sejumlah biro perjalanan haji untuk menggali informasi lebih lanjut terkait dugaan penyimpangan kuota.
Sebelumnya, KPK resmi memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan dan penyelenggaraan kuota haji di Kementerian Agama tahun 2023–2024 pada 9 Agustus 2025. Langkah ini diumumkan setelah pemeriksaan terhadap mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dua hari sebelumnya.
KPK juga berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI guna menghitung potensi kerugian negara akibat kasus tersebut. Berdasarkan temuan awal per 11 Agustus 2025, kerugian negara diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Dalam waktu yang sama, KPK juga menetapkan larangan bepergian ke luar negeri terhadap tiga orang, termasuk mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Pada perkembangan berikutnya, 18 September 2025, KPK menduga sekitar 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji terlibat dalam kasus ini.
Selain penyelidikan KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga menemukan sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaan ibadah haji 2024. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pembagian kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi.
Kementerian Agama diketahui membagi kuota tambahan tersebut secara seimbang, yakni 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Padahal, pembagian ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menetapkan porsi haji khusus hanya sebesar 8 persen, sedangkan haji reguler mencapai 92 persen.



