Melongok Pengungsi Rohingya di Bangladesh Selatan

BANGLADESH – Lebih dari 20 tahun setelah gelombang pertama Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar, ketakutan muncul dari pondok-pondok tanah di mana mereka menemukan tempat berlindung saat ini di Bangladesh Selatan. Mereka cemas harus pindah lagi.

Para pengungsi khawatir kalau-kalau Pemerintah Bangladesh  menginginkan mereka keluar dari kawasan itu, mungkin harus pergi ke salah satu pulau di Teluk Benggala, sebagai batas dua negara yang sering dijadikan sebagai tempat lalu lintas para pengungsi antar dua negara.

“Ini rumah kami sekarang, dan kami damai di sini.” kata Nur Alam, yang menyeberangi Sungai Naf yang memisahkan kedua negara dengan perahu kecil pada tahun 1991, seperti dikutip dari Reuters Rabu (3/6/2015). “Kami tidak yakin kami akan aman di tempat lain.”

Sekitar 33.000 pria, wanita dan anak-anak saat ini hidup berdesakan di Desa Kutupalong dan Nayapara, dekat perbatasan Myanmar. Mereka dibantu oleh PBB dan pemerintah Bangladesh, dan saat ini mereka adalah orang-orang yang beruntung.

Sementara masih ada pengungsi Rohingya sekitar 200.000 sampai 400.000 lebih di kamp-kamp dekat perbukitan di mana pemerintah Bangladesh belum mengakui mereka sebagai pengungsi. Mereka terancam dipulangkan ke Myanmar.

HT Imam, Penasihat Politik Perdana Menteri Sheikh Hasina, mengatakan, kehadiran begitu banyak orang asing tanpa dokumen identitas dan pekerjaan yang jelas menyebabkan masalah bagi masyarakat setempat dan menghambat pembangunan.

“Pengungsi Rohingya adalah Warga Myanmar dan mereka harus kembali,” katanya. “Kami peduli dengan mereka, tapi kami tidak dapat menjadi tuan rumah mereka lagi.”

Bangladesh, salah satu negara yang paling padat penduduknya di dunia yang dihuni 160 juta jiwa, khawatir bahwa jika terus menerus menerima sesama Muslim dari Myanmar itu hanya akan memancing pengungsi lain, lebih banyak lagi melintasi perbatasan mereka.

Sementara Myanmar tidak mengakui  1,1 juta penduduk Rohingya sebagai warga negara, meskipun mereka telah tinggal selama beberapa generasi di negara bagian Rakhine Barat. Pemerintah menyebut mereka sebagai “Bengali” dan menganggap mereka imigran ilegal.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here